Monday, November 29, 2010

[pemanasan] Tidung-ku

..jadi kencan ke Ujung Kulon bersama John, batal dan sangat mendadak berganti ke Pulau Tidung..

 

Pengen buat cerita laporannya, tapi blum kelar.. Jadi ini nyicil dulu yah.. Ibarat film ini adalah teasernya.. ^^

 

Ini tanpa turis...

 

dan ini dengan turis..

 

 

Kerreeennn yaaa.... ^^

 

Kisah selengkapnya, segeraaa... ^o^

 

Wednesday, November 24, 2010

ONROP_NO HOPE?

Rating:★★
Category:Other
Adalah sangat sulit untuk menuliskan review dari sesuatu yang tidak mengesankan [sama sekali].


Warning: kata ‘penonton’ sengaja diganti menjadi ‘aku’ semua, untuk menghindari generalisasi dan untuk menunjukkan bahwa ini murni pendapat pribadiku.


Onrop! Musikal ini, faktor penarikku menontonnya adalah tagline-nya “Sebuah Komedi Satir Bagi Yang Masih Percaya Akan Kekuatan Cinta”. Sebuah komedi satir!. Pengalamanku menonton suatu pertunjukan langsung, baik itu teater, monolog, atau pembacaan puisi, komedinya itu tuh ganas! Lucu-nya tuh smart dan pasti membuatku ngakak dan reflex tepuk tangan di tempat, saat itu juga. Bahkan pidato kebudayaan pun, yang 'hanyalah' pidato, bisa membuatku ngakak guling-guling. Maka, dengan mengabaikan siapa yang membuat, siapa yang terlibat atau critanya tentang apa, aku memutuskan untuk menonton. Satu keyakinan yang kupunya: ini akan menjadi suatu kejutan.


Aku bukan jenis orang yang bisa membaca buku untuk kedua kalinya, menonton suatu film dua kali (pun dua kali adalah karena pasti menemani orang). Kenapa? Karena ku tidak bisa menikmati sesuatu yang pernah kunikmati sebelumnya. Yang keduakalinya pasti ga senikmat yang pertama. Dan mengutip kalimat seorang teman (baca = Ardi), adalah menyebalkan ketika kita sedang menikmati sesuatu, kemudian apa yang kita nikmati itu mengingatkan kita pada hal lainnya. Nah, tambahkan kelemahan memoriku dalam momen menyebalkan itu, sedang menonton sesuatu kemudian ingat bahwa apa yang sedang ditonton mirip dengan tontonan lain, tapi ga bisa ingat apa itu. Hasilnya adalah gatel otak akut.


Onrop! Musikal yang menjanjikan sebuah komedi satir melalui tagline-nya, ternyata berisi guyonan-guyonan yang bukan komedi apalagi satir. Namun dia selamat dari menyebabkan kegatelan otakku. Bukan karena memoriku mengalami perbaikan, tapi karena begitu kentaranya guyonannya mirip siapa. Tak ada yang lucu satu pun dari semua komedi yang ditampilkan. Entah berapa kali aku berkata “Apaan si?” dan saling memandang dengan tetanggaku, karena bingung ada saja yang tertawa. Ada kalanya aku berkata “Ko picisan yaaa..”. Dan sering juga juga berkata “Fail!”. Pokoknya bagiku semuanya garing jaya. Dan perlu kusampaikan juga, aku tidak bisa dibuat tertawa oleh guyonan fisik, misalnya jatoh. Dan Onrop memberikan adegan cewek nempel di dinding karena kepepet pintu yang sedang dibuka. Aku juga bukan penganut becandaan terkait sex, jadi aku tidak bisa tertawa pada “SELIJI = keselip di biji”, apalagi dada besar sebagai pelampung di laut (selain main fisik, juga basi).


Tak ada sesuatu yang baru dan segar yang ditawarkan oleh cerita Onrop! Semuanya sudah pernah kudapatkan. Bahkan pada bagian yang menurutku dimaksudkan sebagai misi penyetaraan gay pun, bukan hal original buatku. Penampilan apa-apa yang disindir pun basi jaya: baby sitter, penari jaipong, atlit2. Kemudian (yg mungkin) penyebab klimaksnya yang membawa cerita ke pulau Onrop pun datar “kita musti telanjang’. Hadeuh.. Pokoknya dari segi cerita dan komedi, Onrop no hope deh.. Membuatku bertanya-tanya kemanakah yang namanya si Kreatif pergi (karena kalau aku mempertanyakan selera humorku, tar dibilang labil..). Pesan yang sepertinya ingin diemban, disampaikan literally dalam kalimat kaku “norma adalah bla..bla..”, atau “agama adalah bla..bla..” dan ada juga “buat apa kekerasan kalau kita bla..bla..”. Pesan yang bagus..tapi penyampaiannya itu lhoooo.. Ga nampol ajah!


Bagaimana dengan musik dan lagunya? Dalam promosinya, si sutradara menyatakan (dengan bangganya) bahwa orkestranya live dan pas baca itu aku langsung “Yaeyalaaaahhh.. Masa iya mau playback atau minus one?!”. Jadi, dengan statement beliau itu, aku tidak berharap banyak pada musiknya, karena bagi sang sutradara sepertinya yang penting live. Dan memang, entah karena faktor komposisinya atau apa, musiknya tak ada yang memerindingkan. Untuk lagu, lebih tepatnya lirik, karena asalnya adalah sama dengan si pembuat cerita, jadi yaaa setali tiga uang. Kalau ga mau dibilang jayus, ya garing. Cuma satu yang kusuka, 'kl ga ada kamu..apa gunanya'. Beberapa lagu sudah bisa di-download dari jauh hari, sehingga aku bisa mendengarkannya dan tahu liriknya. Tapi banyak lagu lain yang benar-benar lagu baru. Nah, dalam pertunjukan musikal, lagu merupakan bagian dari jalan cerita bukan? Apa jadinya ketika kita berusaha mengikuti cerita yang sedang disampaikan melalui lagu, tapi ternyata beberapa kata tidak terdengar jelas? Bertanya pada tetangga pun sama ‘budheg’nya. Membuka katalog pertunjukan? Lha isinya foto-foto pemainnya semua. Yak, katalognya berisikan foto-foto dan profil para pemainnya dan sponsor. Padahal menurutku baiknya lirik lagu itu ada di katalog, sehingga ketika menunggu gong berbunyi 3 kali, aku bisa membacanya sehingga ketika mendengar lagunya dinyanyikan, sudah bisa meraba dan tidak akan keteteran.


Tata panggung. Salahkan aku yang termakan provokasi twit idolaku yang menyatakan bahwa artistik Onrop sangat memuaskan dan akan ada surprise di tiap pergantian scene. Ekspektasiku melambung karena itu. Dan Onrop tidak mencapai ekpektasiku itu. Keren si keren..(beberapa), paling kusuka adalah yang di awal Act2, pohon warna biru dan background nya merah menyala (atau kebalik yah? Lupa..). Itu membuatku terpukau dan tersenyum, suka liatnya! Lampu dan tata cahayanya juga kadang keren, tapi bukan sesuatu yang wow. Kemudian, apresiasi juga kuberikan untuk banyaknya scene yang digunakan yang artinya pergantiannya jadi sering. Nah, catatanku di pergantian scene ini adalah tidak terperhatikannya moodku. Pergantian scene dilakukan dengan meredupkan lampu di panggung selama kru-kru berbaju hitam mengangkat properti, musik sunyi. Meski hanya sebentar, situasi seperti itu menurutku membuat ku mati gaya. Mau ngobrol, kesunyiannya terlalu kudus untuk dicemari. Mau nonton ke depan, ga ada yang bisa ditonton juga. Sebenarnya ada dua pilihan untuk pergantian scene ini. Satu: gelap gulita total seperti yang dilakukan Nyai Ontosoroh. Waktu itu tiap properti difasilitasi dengan panggung mini yang beroda. Sehingga, kru yang bertugas cukup menarik keluar atau masuk pentas. Unsur surprise kena, walaupun menyiksa mata yang harus beradaptasi. Pilihan kedua adalah: melibatkan kru pengatur set ke dalam pertunjukan, seperti yang dilakukan (okeh..aku lupa) kalau bukan Gandrik ya Koma. Jadi, kostum para kru itu tetap hitam namun agak berhias. Kemudian mereka masuk ke panggung dengan sedikit akting, entah itu lari-lari kecil, entah koprol, pokoknya lucu-lucuanlah. Ya namanya juga pertunjukan komedi kan? Jadi aku tetap punya tontonan dan terhibur.


Koreografi. Bagus jika disajikan terpisah. Terlalu sayang jika dinikmati sebagai pelengkap cerita. Bayangkan, telinga dan otak bekerja untuk menangkap lirik lagu yang dinyanyikan pemeran utama. Selain itu mata ku juga harus mengikuti gerakan si pemain utama. Tapi, ujung mata juga menangkap tarian-tarian para ensamble yang jumlahnya tidak sedikit dan tersebar merata di panggung. Dan masing-masing gerakan mereka itu menarik. Mau lihat adegan berkasih-kasihan dua lelaki di kanan panggung, tapi di kiri juga ada satu lelaki cium2 tubuh perempuan. Di tengah belakang ada juga. Hadoooohh..mataku kan cuma duaaaaa… Jadi, ku memikirkan adanya pagelaran tari saja. Kan kalau film ada CD soundtrack yang dijual terpisah dan bisa dinikmati sendiri. Nah, kupikir untuk Onrop, perlu dipertimbangkan pagelaran tariannya saja. Soalnya kalau lagunya didengarkan terpisah, ummmhhh..liriknya akan membuat kita mengernyitkan dahi.


Jadi, kalau aku harus menilai, maka
Koreografi : 7
Musik dan lagu : 5
Tata panggung & cahaya : 6
Cerita dan humor : -3
Rata-rata: 3.75. Not bad lah ya…


Kesimpulannya bisa 2:
- dududududu.. cukup sudah..jangan ada lagi.. “kalau cuma terima yang basi, maka pasti dilibas”, lirik lagu (yg mungkin judulnya) Mayoritas Bersuara by Joko Anwar

- ‘There’re a lot of rooms for improvements’ , testimoni Dirgayuza.


Tergantung kamu masuk kategori mana dari pembagian yang dibuat oleh sang sutradara: pembenci atau pecinta ^^



~sengaja dikeluarkan ketika pecan Onrop telah berlalu, demi tidak menggiring opini calon penonton dan demi dinginnya kepala dan hati~






Pfuuuhh..akhirnya publish juga setelah rombak berulang kali ^^



Baca juga review lainnya yah untuk pelengkap (terutama bagian cerita) dan penyeimbang.. ^^
1. Ardi punya: http://arddhe.multiply.com/reviews/item/211
2. Mikael punya http://oomslokop.posterous.com/onrop-sebuah-komedi-satir-bagi-yang-masih-per
3. Mumu punya: http://rumputeki.multiply.com/reviews/item/129
4. Candra punya: http://nggacor.multiply.com/reviews/item/371


Sunday, November 14, 2010

QhoirSingers Male Vocal Ensamble_Membangkitkan Jiwa Remajaku

Rating:★★★★
Category:Other
Karena baru nonton Onrop-nya besok, tapi hasrat untuk mereview sesuatu menggebu-gebu (demi mengimbangi demam Onrop yang mulai memanas), maka inilah salah satu pertunjukan yang sangat kunantikan di bulan November.


9 cowok bersatu dan bernyanyi diiringi piano.


Bayangkan sembilan cowok, dijejer-jejer, megang mic semua, dan semuanya bernyanyi disertai koreografi! Siapa yang tak klepek-klepek dibuatnya..!


Bertempat di FX Music, Xpander studio, pertunjukan yang hakikatnya adalah sebuah GR (Grand Rehearsal) menjadi begitu hidup dan indah. Karena aku masih menderita buta angka, jadi aku tidak dapat menggambarkan ukuran ruangannya. Tapi kira-kira beginilah settingannya. Antara tempat pentas dan bangku penonton, tidak berbeda tingginya. Bangku-bangku diatur rapi menjadi 2 sayap, masing-masing sayap ada sekitar 25 bangku. Jadi totalnya adalah 50 bangku, dengan masih ada sisa tempat lumayan luas di bagian belakangnya. Nah, untuk bagian depan, bagian pentasnya, pengaturannya sungguh cantik. Di sisi kiri adalah grand piano warna hitam kelam. Kemudian, dindingnya ditutupi dengan dekorasi mirip sebuah kamar (interpretasi pribadi..hehehe.. Lihat gambar sajah..). Sederhana tapi cantik dan indah. Pencahayaannya juga mendukung suasana adem-nya.
Malam itu tema kostum mereka adalah white (jadi inget Sundaze White yang kutonton di Paranoia, jadi inget juga Katalis-ku yang dresscode nya juga jins + putih). Semua personil Qhoir jadi nampak bright, cute and charming. Dan saat mereka mulai bernyanyi, dudududu..menggemaskan!


Lagu yang mereka bawakan ada 6: Till There was You (musical of Music Man), Indonesian Movie Soundtrack Medley, A Tribute for Alm. Chrisye, Vina Panduwinata Medley, Selection from The Sound of Music, Mamma Mia! Medley, dan terakhir adalah lagu mereka sendiri: Musik Kami.


Setiap nomor komposisi lagu, diawali dengan sedikit narasi tentang lagu-lagunya yang disampaikan oleh dua personil secara bergantian. Kemudian mereka mulai bernyanyi. Lagu pertama sangat berhasil dalam memanaskan suasana. Diawali dengan harmoni yang merdu dan diakhiri dengan irama yang ceria dan agak centil, benar-benar membuatku sumringah dan bersemangat.


Lagu-lagu berikutnya semakin menghipnotis penonton untuk menikmatinya. Bahkan aku lupa untuk mengambil gambar karena terbuai dengan lagu-lagu, terpikat untuk ikut bernyanyi dan menari. Unsur koreografinya, sederhana tapi pas dan mengena. Tidak ada pergantian posisi berdiri di antara personil, tidak ada atraksi-atraksi melibatkan kursi diputar-putar (kayak di As Long as You Love Me-nya Backstreet Boys), tapi enak dilihat, lucu dan itu tadi, menggemaskan! Apalagi pas gaya bebas, wow..ada satu personil yang banci tampil banget dan dia benar-benar memikat! ^^



Lagu penutupnya, meski lagu baru pertama kali kudengar, langsung nuncep di otak. Bagus! Dan ketika narasi penutupan disampaikan oleh salah satu personil, 8 lainnya tetap menyanyikan lagu itu dengan lembut. Wow..kerrreenn..

Untuk ukuran grup yang baru berumur 5 bulan, dengan tambahan 2 personil baru kurang lebih sebulan, QhoirSingers kubilang sangat mengagumkan. Mereka menyanyikan 6 komposisi di atas secara non-stop. Tanpa adanya jeda minum atau iklan, yang menurutku perlu dipertimbangkan. Selain memberi kesempatan mereka bernafas, juga buat penonton untuk saling berbagi betapa kerennya penampilan lagu tadi. Karena untuk aku yang memiliki short term memori lemah, setelah pertunjukan selesai, agak tertatih-tatih untuk membahas dengan teman-temanku bagian mana yang kusuka, mana yang suka banget.


Grogi adalah catatan lain dariku, terutama ketika menyampaikan narasi, yang menurutku cukup wajar. Meleset nada, juga sesekali terjadi, tapi itu bisa diabaikan. Gerakan koreo ada yang agak out of beat, juga tak apa.. ;)


Di tengah-tengah pertunjukan, aku merasakan sensasi masa remaja saat aku tergila-gila pada boyband. Dimana aku dan teman-temanku saling memilih personil idola masing-masing dari boyzone, westlife, dll. Nah, ternyata untuk Qhoir ini pun terjadi lagi. Aku dan partnerku langsung punya idola gitu.. ^^ Dan selesai nonton, kita kan makan. Sepanjang makan obrolan kita adalah Qhoir, Qhoir dan Qhoir, tak ada bosan-bosannya membahas mereka sampai tengah malam. “Ko kita kayak jaman SMP dulu gini yah?”. Fufufu.. Qhoir berhasil membangkitkan gejolak jiwa mudaku!


Sangat berharap mereka membuat rekaman baik untuk diupload, dijadikan RBT ataupun dipasarkan dalam bentuk CD.


Sementara itu aku mau ngapalin nama masing-masing 9 personil Qhoir. Saat ini aku menyebutnya dengan si nomor 4, nomor 3, berdasarkan posisi mereka berdiri ^^ Pssttt..idolaku adalah si momor 1 dan nomor 4! Nomor 2 juga.. *kemaruk*


Oiyah! Penyampaian etika/ peraturan menonton di awal kupikir patut untuk dicontoh. Disampaikan aturan sederhana: tidak boleh makan, minum, merokok; tidak boleh keluar masuk; boleh mengambil gambar dengan apapun asal tidak menggunakan lampu kilat; semua alat komunikasi dialihkan ke nada getar atau silence. Kusuka aturannya! ^^


Photo by: Pepito

Silakan follow mereka di @QhoirSingers atau fesbuknya, Qhoir (kayaknya..)

Friday, November 5, 2010

[pengen buat] Gerakan Habiskan Minuman Kemasan Gelas

 

Pencetus 1

Kira-kira setahun yang lalu, aku ngelayat papanya temanku. Aku ke sana sepulang kantor, sedangkan pemakamannya adalah siang hari. Jadi ketika aku datang pelayat tinggal sedikit. Acara tahlilan pun baru saja selesai. Aku dan temanku memilih untuk duduk-duduk di bangku yang diatur di halaman. Kita duduk menghadap pendopo yang tadinya digunakan untuk tahlilan. Sambil ngobrol, pandangan kita ke arah depan, arah pendopo. Dan kulihat ada 2 orang, salah satunya adalah kakaknya temenku sedang membereskan pendopo itu. Salah satu tugas beberes itu adalah beberes gelas-gelas bekas air minum. Dan, aku jadi sedikit geregetan. Sedangkan temanku geregetan banget. Apa sebabnya?

Gelas-gelas bekas itu kan diletakkan begitu saja di lantai oleh para peminumnya. Trus pengambilnya kan membungkuk-bungkuk gitu ngambilnya. Trus demi kepraktisan kan pungut trus disatuin di kerdus. Nah, pas kerdusnya di angkat, ada air menetes-netes menimpa kaki kakaknya temenku dan juga lantai. Aku yang ga suka basah, lembab dan becek, merasa pengen peluk kakaknya temenku itu ^^

Aku agak geregetan karena “aturan tadi airnya dibuangin dulu baru dilempar ke kardus”. Temanku geregetan banget karena “kebiasaan kan orang-orang.. ga pengen minum tapi dipaksain demi sopan santun. Tapi cuma diicip doank ga dihabisin. Harus mulai dibiasain ni (orang-orang) untuk ngabisin minumnya. Kl ga ngrepotin gitu kan? Nyusahin yang beresin!”. Dan aku serasa dapat pencerahan. Itulah intinya!

Sejak saat itu aku memulai dari diri sendiri untuk selalu menghabiskan minuman dalam kemasan gelasku. Untuk menularkan kebiasaan ini aku agak bingung menyusun kalimatnya dan sungkan menyampaikannya ^^ *pengecut* :(

 

Pencetus 2

Dua minggu lalu aku datang ke acara tigabulanan kakaknya temanku. Karena ngaji ga bisa, masak ga bisa, maka aku bantu dalam menyiapkan tempat dan kemudian setelah selesai beresin lagi. Nah, lagi-lagi kejadian setahun kemarin terulang. Hanya saja kalau setahun kemarin aku menjadi pengamat, kini menjadi pelaku.

Seperti yang dibilang temanku di atas, kebiasaan orang-orang adalah basa-basi minum. Jadi, bisa kubilang dari semua orang yang datang dan minum, ga ada satu pun yang menghabiskan air minumnya. Lebih parahnya lagi, setelah acara selesai kan pada berdiri semua trus pamit2an, kerubutan, jalan ga liat lantai tempat mereka meletakkan gelas air minum yang tidak mereka habiskan. Akibatnya beberapa gelas ketendang dan tumpah. Emang ga parah tumpahnya, kan cuma selubang sedotan. Tapi kan tetep aja karpetnya jadi basah!

Setelah semua tamu pulang, maka aku memulai kegiatan beresin gelas-gelas bekas minuman yang tidak dihabiskan itu. Andai mereka menghabiskan air minum itu, akan sangat mudahlah tugas itu. Tapi, karena kebiasaan basa-basi itu, maka tugas beberes menjadi sangat serius. Aku harus mengangkat gelas-gelas itu, ku bawa ke wastafel di dapur, trus kubuangin sisa airnya, barulah gelas plastiknya kubuang ke plastik sampah. Dan karena tanganku kecil, maka sekali jalan ku hanya bisa bawa 2 gelas. Untung aku pintar, jadi kupake nampan. Jadi bolak-baliknya ga bikin tua ^^

Dan saat itulah aku benar-benar geregetan dan memikirkan perlunya dimulai gerakan menghabiskan air minum dalam kemasan gelas. Kenapa gelas? Karena kalau botol, jarang kuliat digunakan secara massal. Pun digunakan, kemasan botol kan ada tutupnya, jadi aman dari potensi tumpah. Dan biasanya kalau kemasan botol, sisa air akan dibawa oleh peminumnya.

Selain untuk tidak menyusahkan yang beberes nantinya, gerakan ini juga dalam rangka cinta bumi dan kehidupan. Jangan lihat air itu dari harganya yang ‘hanya’ limaratus rupiah. Aku baru dengar cerita bahwa demi air itu sampai ke kita, ada 2 desa di lereng gunung di jawa barat sana yang berantem karena berebut air. Mata air mereka disedot oleh industri air dalam kemasan di hulu, sehingga mereka kesulitan air. Eh, pas sudah sampai di kita, hanya ditusuk, isep dikit, buang. BUANG. Karena ketika kamu tidak menghabiskan minuman itu, ga mungkin ada usaha mengumpulkan dan menampungnya kan? Jadi bener2 dibuang. Makanan sisa, bisa jadi rejeki kucing. Minuman sisa?

 

Jadi, mari mulai biasakan untuk menghabiskan minuman dalam kemasan gelas (istilah awamnya akua gelas).

 

Semangat!

 

makasi untuk Ka Mei atas geregetannya setahun kemarin.. luv u! ^^

 

 

 

Wednesday, November 3, 2010

Kopi Luwak Kedua (dan akan menjadi yang terakhir)

 

Bukan karena ketagihan, tapi murni traktiran paksaan.

 

Semalam aku nonton Social Network di FX bersama 3 orang teman. Selesai nonton, 1 orang teman langsung pulang karena rumahnya di Bogor dan harus mengejar kereta jam 8.45. Satu teman lagi kelaparan dan kubilang bahwa aku juga lagi ngidam mie ayam, maka kita bertiga menuju fudkort di lantai paling bawah dari FX. Di dalam lift, temanku yang bernama Yessy membaca tulisan bahwa ada outlet Kopi Luwak di FX ini. Dan ku langsung geleng-geleng bermaksud menghalangi excitement dia.

Yessy: gue belom pernah ngopi luwak..

Tata: Duh.. ga jauh beda ma kapal apiii.. seriusan

Yessy: tapi gue belom pernah

Tata: Seriusan deh..ga usah nyoba

Obrolan tentang kopi luwak berhenti di situ, untuk sementara waktu.

Selanjutnya kami pesan makan dan mulailah makan. Selesai makan, lanjut ngobrol-ngobrol. Sesekali si Yessy masih nglirik-nglirik ke arah outlet yang dia punggungi. Dia bener2 ngiler Kopi Luwak. Akhirnya kucritainlah kopi luwak pertamaku. Dia minta bandingin sama setarbak, kubilang “jauuuhh… Apalagi ama dankin! Dibilang itu tuh kapal api mahal”. Kupikir dia teryakinkan olehku bahwa Kopi Luwak ya gitu-gitu doank.

Dan tiba-tiba Yessy berdiri, “Kalian lanjut aja ngobrolnya”. Dan dia berjalan menuju toilet, kupikir begitu. Ternyata dia belok ke outlet Kopi Luwak yang memang letaknya di jalan menuju toilet. ^^

Astaga.. Kata temenku satu lagi, si Engelika, “Biarin..tar gue icip-icip..”.

 

Dan ketika dia kembali, dia membawa kantong plastik warna putih. Pas dibuka: isinya 3 gelas bergambarkan Luwak. Astagaaa.. Cara buang duit yang ga bener ni..

Tapi ya gapapa juga si.. Kan kali aja pas aku minum kopi luwak pertamaku dulu lidahku sedang aneh, jadi penilaianku ga valid dan afdol. Jadi kopi luwak kedua ini adalah ajang peyakinan.

Kita buka plastik pembungkus gelasnya trus kita buka selotip penutup lubang buat minumnya. Kudekatkan hidungku. Nihil. Tak ada aroma memabukkan itu. Kubuka tutupnya biar aromanya lebih memapar hidungku. Mulailah tercium aroma itu, aroma kapal api.

Kuaduk-aduk.. Trus kutiup-tiup.. Trus kuseruput. Daaaannn.. Tetap saja rasa kapal api. Ada beda si dengan kopi luwak pertamaku, yang ini panasnya puanass! Trus gelasnya ada gambar luwaknya. Si Engelika cekikikan “mendingan Nescafe di rumah gua ini mah…”.

Bagaimana dengan Yessy? Dia ketawa-ketawa. “Iyah..mirip kapal api.. Hihihi.. Iyah..enakan setarbak.. Hihihi.. Trus kenapa mahal yah? Padahal ukuran gelasnya segini doank… Hihihi..”. Baru dia percaya..

Maka dengan ini kunyatakan: cukup sudah penasaranku pada kopi luwak. Ga lagi-lagi mau beli atau nyoba. Kalau ada yang mau traktir itu, berikan mentahnya saja dan aku akan ke supermarket untuk beli Nescafe atau kapal api atau nonton 5 kali!

 

Dan inilah testimony dari @yessy_c: just taste luwak #coffee.. *the most expensive coffee in the world but still taste like ordinary coffee.. :d  

 

Oiyah! Aku sedang sangat sangat sangat sangat menantikan kedatangan kopi aceh dari seorang teman yang bernama Haris Fadli Pasaribu yang bolak-balik Medan-Banda Aceh melulu. ^^ Luv u!

 

Monday, November 1, 2010

Being Smart is A Must (part III)

Kini tiba saatnya cerita tentang kebodohanku lagi.

 

Enaknya tinggal di Semarang adalah order taksi gampang dan cepat. Jadi, aku jam 7an sudah sampai kosan temenku (dan karena dia ga punya TV, ga suka baca detik, ga langganan koran), dia ga tau peristiwa yang kualami, jadi dia ga heboh ga curiga juga kenapa jam 7 aku baru nyampe. Tadinya aku pengen istirahat dulu, tapi kupikir ga bakal keburu. Jadi aku langsung mandi trus siap-siap ke akad nikah. Ternyata temanku santai-santai kayak di pantai aja gitu... Ya karena perjalanan di Semarang itu jauuuhhh dari keribetan dan kemacetan.

Jam setengah 9 kita jalan dan sebelum jam 9 sudah berada di lokasi akad nikah. Isinya? Ibu-ibu semuaaa.. Untung ada adik ipar si mempelai perempuan yang lagi pangku anaknya, kusamperin ajah, “Ini Aidan yah?”. Di bapak kaget. Oke..aku emang sok akrab. Aku belum pernah kenal dengan si bapak itu, aku belum pernah ketemu dengan si bocah, aku hanya dengar cerita bahwa adek temenku itu beranak lelaki dan namanya Aidan. Kemudian si bapak ulurkan tangannya, “Saya Eric”. Dan kusebut namaku, dan dia, “Oh..tataaaa…”. Hwua aku terkenal! Hohoho..

Tak banyak yang bisa kuceritakan dari akad nikahnya, karena aku tidak berbuat kebodohan. Kayaknya si.. ^^ Yang paling berkesan adalah aku serasa menjadi liliput pas foto bareng pengantennya. Suami temenku tu ya..tinggiiiiii bangeeettt… :)

Selesai akad nikah, makan dunk.. Trus ramah tamah dengan pengantin, reuni dengan 2 teman. Trus aku pamitan. Kenapa? Karena aku harus finalize kado. Tapi sebelumnya aku harus mampir ke Matahari dulu karena dengan bodohnya aku tidak memasukkan pakaian dalam ke tasku waktu packing. Aku ingat memilih, menghitung, tapi tak masuk ke tas. Jadi, aku harus beli yang baru.

Kado utama memang sudah jadi dan kubawa, tapi kartunya blum jadi. Jadi, rencanaku adalah cetak kartunya di Semarang trus disatukan dengan barangnya, trus dibungkus. Tokh antara waktu akad dengan resepsi cukup panjang.

Pagi aku sudah dapat konfirmasi dari temanku yang buat lay out kartu bahwa file-nya sudah dikirim ke emailku. Sesampai di kosan temanku setelah akad, kubuka email dan aku tersenyum lebar. Desainnya baguuusss..(walau ada 1 typo), temanku pun bilang baguuuuss..tapi “ini lebih cocok cetak gedhe, di frame, trus pajang di pintu masuk gedung", ^o^ ya begitulah kartu ucapannya menyerupai desain foto pre-wedding gitu deh.. ^^

Setelah tanya spesifikasi kertas untuk cetaknya, aku sholat dhuhur trus pengen tiduran bentar baru jalan. Tapi trus kupikir mending jalan, kelar trus baru tidur. Maka berjalanlah kami menuju tukang cetak. Kebodohan pertama adalah salah naik angkot, karena temanku ini meski sudah tinggal 5 tahun di semarang, tapi ga apal angkot. Setelah bener angkotnya, salah tempat cetaknya. Kita ke tukang cetak foto. Pas bilang “Pake art cartoon 260 gram ya, Mbak”, mbak nya paused dan “Oh di sini foto..kalo mau itu di digital printing..”. Hwaaa… Malu aku malu..

Maka berpindahlah kita ke tempat yang dimaksud. Bagus deh tempatnya, besar dan sistemnya bagus. Setelah ambil nomor aku menuju salah satu meja. Kemudian si petugas melayani dengan sangat baik dan professional. Kuberikan flash disk ke dia, trus dia buka. “Ih bagus!". Tak lama kemudian, “Tapi sayang resolusinya kecil..”. Ya harap maklum..bahan mentahnya hasil 'colongan'.. Hehehe.. Trus dia atur-atur posisi cetak. “Jadi berapa, Ka?”. Kulangsung jawab, “Satu ajah!”. Bahaya kalo ditemukan oleh orang.. Tapi si mbak petugas merasa sayang kalo kertasnya sisa, maka dia jadikan dua. “Langsung dipotong?”. Tentu saja, karena mau langsung kusatukan dengan barangnya. Aku pintar dengan sekalian membawa barang itu ke situ.

Setelah bayar, kita duduk di sofa menunggu sambil ngobrol sambil tiduran. Sumpah aku ngantuuuukkk banget. 20 menit kemudian, kartunya jadi dan aku mencelos. Karena ga cocok dengan barang yang sudah kubawa jauh-jauh dari Jakarta. Barang yang sudah menyita energi dan emosi.

Aku buta angka.

Ketika kemarinnya aku terima itu barang, aku merasa tidak ada yang salah, baik dari bentuk maupun spesifikasi lainnya. Dan kuakui, aku tidak mengeceknya ketika menerima. Selain karena tidak kepikiran juga karena gugup dan pengen cepat2 kabur dari situ. Dan ternyata setelah kartunya jadi, nampak jelas antara barang dan kartu tidak compatible, dari segi ukuran.

Temanku kan info ke aku panjang kartunya adalah 32 cm, jadi dengan memperhitungkan ini, ini dan ini, maka ukuran barangnya adalah segini. Tapi karena aku buta angka aku tidak dapat mendeteksi kesalahan ukuran itu ketika melihat hasil jadi barangnya.

Aku tidak seperti salah satu karakter di film Mic Mac dimana dia bisa tau berat suatu barang hanya dengan melihatnya, bisa tau kecepatan mobil yang berjalan ke arahnya, bisa tau komposisi barang hanya dari penampakannya. Aku jauh dari itu, bahkan aku tidak tau jarak 100 m itu semana atau beras sekilo itu sebanyak apa. Jadi ketika menerima barang yang harusnya panjangnya 32++cm  dan ternyata tidak, ya aku biasa aja.

Aku masih berharap si mbak salah cetak kartunya bukan barangnya yang salah. Maka aku menuju meja petugas dan “ga pas, Mbak.. Boleh dicek?”. Maka dengan menggunakan penggaris kita ukur baik kartu maupun barangnya. Dan terbukti bahwa kartunya tepat 32 cm, sedang barangnya 23 cm. Beda sembilan sentimeter dan aku ga ngeh!

Pas itu yah..aku sediiiiiihhhh bangeeeettt.. Karena harusnya barang itu tuh cantik secantik yang dibilang si tukang lay out pas info ke aku desainnya, “Dengan ukuran gitu, unik dan cantik kan?”. Dan aku mengacaukannya dengan kebuta-angkaanku.

Spontan aku pencet nomor telfon si Gadis pengen marah2, tapi habis itu kututup sebelum diangkat. Apa gunanya juga kan? Tokh tak bisa diperbaiki juga.. Maka dengan terpaksa, kartunyalah yang di-customize di tempat. Aku makin sedih karena harus otak-atik desain kartu yang cantik itu. Hiks..hiks.. Setelah setuju dengan hasil otak-atik si mbak petugas, aku bayar, dan kembali duduk di sofa dengan lemas untuk menunggu.

Setelah selesai, langsung kurangkai dengan barangnya. Setelah berulang-ulang salah posisi, akhirnya jadi juga. Trus mampir toko buku untuk beli kertas kado.

Pulang, bungkus trus tidur2an. Sebelum kubungkus, kutulis di kardusnya bahwa ada kisah panjang tentang kado ini dan jadilah utang crita ini ^^

 

Untuk temanku yang telah sangat berbaik hati mendesain kado dan kartunya di sela-sela kepadatan jadwal dan kesibukan, maafkan aku yah..karena hasilnya tidak secantik seperti yang kamu desain.. *cium tangan* 

Untuk temanku yang menerima kadonya, maafkan aku yah…karena tidak maksimal.. Harusnya barangnya cantik..

 

 

Hiks..andai aku pintar dalam hal ukuran.. Hiks..

 

Jadi, aku harus melatih sensitifitasku tentang ukuran!

 

 

…masih ada satu part lagi dimana di situlah temanku berkata “3 Hari Untuk Selamanya saja kalah”…

 

Being Smart is A Must (Part II)

Okay.. Sudah ada yang menagih, bahkan ada yang lewat SMS. Fufufu… Dan sudah makin ga enak juga karena dah keselip beberapa postingan lain ^^

 

Mari kita lanjutkan ceritanya.. ^^

 

Sebelum ku lanjut ke cerita kereta, kucritain dulu kenapa aku naik kereta dan kenapa kereta itu.

Pernikahan temanku dilaksanakan dua tahap, akad nikah di pagi hari (jam 9) dan resepsi di malam hari (jam 7). Nah, aku mau datang di dua-duanya. Dan karena aku telah menghayati tinggal di ibukota, maka ketika dibilang akad nikah jam 9, artinya aku musti siap jam 7. Artinya aku harus sudah ada di Semarang di jam 6 pagi. Maka aku berpikir, transportasi apakah yang akan kugunakan untuk menuju Semarang. Pada saat berpikir itu aku mendadak mendapat pencerahan! Bapak-bapak yang duduk di depanku adalah seorang bapak yang kos di Jakarta Raya, tapi anak-istri di Semarang. Jadi, tiap minggu dia pulang-pergi Jakarta-Semarang demi bertemu orang yang dikasihi. Sebagai prolog aku bertanya,

Tata: “Pak, aku tar tanggal 2 mau kondangan di Semarang lho.. di Jalan XXXX. Itu sebelah mana, ya Pak?”.

Dan gayung bersambut,

Dia: “Oh ya? Aku ga tau itu dimana, tapi bisa dicarilah. Mau naik apa?”.

Tata: Enaknya naik apa yah? Akad nikahnya jam 9..

Dia: Bareng aku aja..naik kereta.. Sampai Semarang subuh.. (inilah yang kutunggu.. hohoho..)

Tata: Sip..sip.. Kapan kita pesan tiket?

Dia: Nanti aja..

Tata: Tar dari sini langsung ke Gambir kan? Bareng yah..

Dia: Kita naik bisnis saja.. Lebih murah..bangkrut aku kalo naek Argo..lha tiap minggu..

Tata: okay..

Kupikir tak masalah mau naik apa, yang penting bersama dengan ahlinya. Ku pernah juga ko naik kereta itu pas kondangan juga ke Semarang dulu, sama teman-temanku. Lagian sepanjang jalan kan aku hanya akan tidur.. ^o^

 

Senin, 27 September 2010

Setelah tiap hari aku nanya ke dia kapan pesan tiket, karena aku beneran agak panik kalau sampai tidak dapat tiket karena aku ga ada rencana B apalagi C atau D, maka pergilah kami ke Kantor Pos mini di lantai dasar gedung. Dia ajari aku cara memesan tiket kereta. Ambil kertas bekas yang disediakan, tuliskan: nama, tujuan, tanggal, nama kereta, jam keberangkatan, nomor gerbong, nomor bangku yang dikehendaki, jumlah tiket, nomor telfon yang bisa dihubungi. Maka kutuliskan:

Tata

Semarang

01-Oktober-2010

Senja Utama

19.20

III

Mana saja

1

0815XXXXXXX

Aku nulis itu tentu saja mencontek temanku. Pas kutanya kenapa gerbong III, dia bilang “Deket sama pintu keluar”. Hooo..kalau ga nyontek pasti ku akan kuisi dengan 1 atau 9 (kebiasaan naik KRL, pintu keluarnya ada di paling depan sama belakang). Dan ternyata apa yang kutulis berbeda dengan yang temanku tulis. Dia menulis jam 15.00. Aku kaget. “Lha? Bukannya kita barengan?”. Dan ternyata dia ingin duluan, sangat kangen dengan anak istrinya. Dudududu.. Dia enak..sudah bergabung di tempat kerja ini bertahun-tahun..kabur habis sholat jumat enak-enak ajah.. Lha aku? Probation blum lulus, balance cuti minus.. Tak mungkin dunk aku bareng dia.. Akhirnya terpisahlah kami.. Padahal aku memutuskan berkereta ini karena kupikir karena ada dia.. Huhuhu..

Nah, sekarang lanjut ke hari H, hari keberangkatanku, Jumat 01-Oktober-2010.

Aku sampai di stasiun pas Maghrib, maka setelah aku masuk wilayah stasiun aku ke musholla untuk sholat. Selesai sholat, aku duduk di bangku di antara orang-orang yang sepertinya juga akan sekereta denganku, mayoritas bapak-bapak dan mas-mas. Trus semenjak aku bergabung dengan Twitter, tiap aku bengong pasti baca-baca timeline, retweet yang seru, reply yang perlu. Otakku belum sekreatif atau semeletup itu untuk mengetwit banyak hal (kalau istilah ardi twitalay, dikit-dikit laporan). Tapi baca-baca timeline cukup merupakan pembunuh waktu yang lumayan ko..selain kadang aku masih stalking juga.. ^^

Tak lama, masuk SMS dari temanku yang tadinya urung bareng. Dia baru masuk stasiun. Jadi, ternyata dia tidak bisa kabur kelar sholat jumat karena mendadak ada meeting. Jadilah dia membatalkan tiket awalnya (kena denda tentu saja), trus pesen lagi untuk keretaku. Hanya saja, karena dia udah mepet pesennya, sudah ga bisa deketan aku. Jadi, dibilang ada barengan, ya ada..tapi dia dimana aku dimana.

Dia sholat, aku makan. Tadinya aku pengen banget ngopi ke dankin, tapi habis itu ku berpikir “kalo aku tar pengen eek di kereta gimana?”. Maka aku makan saja.

Tak lama, kereta masuk stasiun dan aku naik ke rangkaian. Setelah itu ngobrol-ngobrol di telfon sama kawan-kawan, mak ku tentu saja (untuk kesekian kalinya mengkonfirmasi keberangkatan). Trus baca-baca timeline twitter lagi, trus tidur dan tidur dan tidur.

Entah jam berapa, kereta berhenti di Cirebon. Aku terbangun sebentar, lanjut tidur lagi. Mimpiku udah entah berapa episode (aku adalah jenis orang yang selalu mimpi tiap tidur meski hanya sekejap). Aku mimpi macam-macam. Salah satunya aku mimpi sedang main sama adekku, trus jari dia digigit tikus kecil, dan aku juga digigit tikus yang lebih besar. Dan mendadak bangunan di depan kita meledak. JDERRR! Dan aku kebangun, dengan posisi badanku sedang ber-hukum Newton 3: aksi-reaksi, terhentak ke depan. Dan ternyata bunyi jderr itu beneran ada. Aku langsung melek dan mendapati lampu kereta langsung mati, dan orang-orang berteriak istighfar.

Aku adalah jenis orang yang kalau mencontek istilah di film Trust the Men, “person who always uses humor to cover everything”. Apa aja slalu kubawa ke becandaan. Bahkan kadang dulu kalau lagi berantem sama lelaki, aku suka interrupt “Boleh becanda bentar ga?”. Trus kalau mau pergi atau jalan-jalan bareng ku pasti kasih kalimat ke teman-teman “Apapun yang terjadi, mau kesasar mau ketemu apapun, kita harus bisa menertawakannya. Ga boleh ada yang ngeluh”. Dan begitulah..karena biasanya kejadian tidak diinginkan itu terjadi atas kebodohan kita yang memunculkan kesalahan. Jadi, daripada saling menyalahkan dengan “Harusnya tadi ga gitu..”, mendingan “Odong banget si kita..”.

Sifat becandaanku itu dibentuk juga oleh keluargaku. Jadi, Mak-ku jantungnya kan rapuh, mudah khawatir, mudah panik. Dan kalau sudah gitu, bahaya mengikuti. Nonton motoGP dan Rossi jatuh, mak ku berakhir di UGD. Bapakku, walau paling tangguh secara fisik, tapi kalau menyangkut anak, rapuh juga (pas adekku kecelakaan motor, awalnya dia tegar, eh pas liat adekku dan denger kalo tangannya patah, pingsan aja tu bapakku. Padahal adekku ngomongnya dah sambil senyum menentramkan, “Hehehe..patah, Pak.. Hehehe..”). Jadi kami anak-anaklah yang harus menjadikan apa yang terjadi, apapun itu, nampak biasa-biasa saja. Karena imajinasi orang tua itu tiada tara.

Maka, ketika kejadian jderr itu aku tidak terlintas sedikitpun untuk langsung menghubungi orang rumahku atau siapapun. Aku aja blum tau apa yang terjadi, kalau aku hanya menyampaikan informasi sepotong, kemudian diimajinasikan oleh penerima, bisa bahaya kan?

Orang-orang panik dan beristighfar, kemudian berdiri semua dan saling bertanya apa yang terjadi dan tentu saja tidak ada yang mendapat jawaban. Karena apa yang ditanyakan tidak bergantung pada kepintaran otak. Kemudian, beberapa orang turun untuk mencari tau. Kalau dalam bayanganku, dengan benturan yang terasa itu, entah gimana ku berpikir kereta menabrak gua. Dan setelah itu aku berkata, “Odong..odong..mana ada gua di depan rel”.

Dan saat orang yang turun itu kembali, dia membawa berita “Kita ditabrak belakang sama Argo. Gerbong 9 ancur, gerbong 8 guling”. Dan seolah diaba-aba, orang-orang langsung menelfon dan mengabarkan berita itu ke mungkin keluarga, mungkin pacar, mungkin teman.

Bayangkan scene itu: kereta, berhenti, lampu mati, semua orang nelfon mengabarkan, dan kamu seorang diri diam tiada yang ditelfon. Bangkok Traffic Love Story banget ga siiiii… ^^ Serius lho, itu yang terlintas di pikiranku pas itu.

Bukan aku sengaja becanda, bukan aku tidak simpati pada mereka yang jadi korban. Tapi, pernah ga pas nonton suatu kejadian entah penculikan, pembunuhan atau kecelakaan di TV, dan secara tidak sadar kita berkata dalam hati “itu adalah hal yang ga terjadi padaku atau orang-orang sekitarku”. Atau kalau ga, merasa yakin bahwa itu bukan kejadian untuk kita. Dan ketika kejadian, misalnya kecopetan, kita berkata “Ya ampun..selama ini aku cuma denger..dan ga pernah kepikiran bakal kejadian..eh ternyata kejadian..”. Pernah ga kayak gitu?

Nah, yang kurasain pas jderr itu, bahkan udah jderr aku masih merasa “ini bukan seperti yang di tivi-tivi, ga mungkin seperti itu..ini hanya kejadian kecil..ini akan segera teratasi..”. Dan itu  adalah jam 3 pagi, gelap gulita dan ga tau separah apa. Yang kutau hanyalah ini di stasiun yang namanya Petarukan, entah dimana itu.

Orang-orang mulai bersuara semua. Saling cerita, saling mengajukan prediksi dan ide. “Ga bakal lanjut ni”. “Turun aja”. “Sambung bis aja”. Dan aku sangat tidak nyaman di suasana seperti itu. Kenapa kita ga diam saja, menunggu kabar resmi dan instruksi dari stasiun apakah kita bisa lanjut perjalanan atau kita disarankan mencari alternatif lain (kebiasaan di KRL Jabotabek). Kemudian daripada aku stress sendiri, aku terpikir untuk baca timeline saja. Maka kukeluarkan henpon dan buka twitter. Halaman twitter terbuka dan twit terbaru adalah dari si Aura Positifku (temanku yang selalu menularkan optimism dan aura positif, bagiku) beberapa menit yang lalu. Tapi setelah itu halaman twitternya tertutup. Kucek pulsaku, tinggal 2 rupiah saja. Tapi kalau pulsa SMS kan aku masih ribuan, maka kukirimkan SMS ke si Aura Positif  (sekaligus desainer kartu ucapanku). “ku sempat buka twitter bentar dan liat kamu masih nyala. Mau twitteran eh pulsaku tinggal 2 rupiah, meski pulsa SMS berlimpah. Ku mau bilang ku berasa kayak lagi syuting Bangkok Traffic Love Story. Keretaku ditabrak kereta lain, berhenti, lampu mati dan semua orang telfon-telfon keluarganya, kecuali aku.. Huhuhu..”. In the spirit of tidak menularkan kepanikan dan emang bawaanku untuk selalu becanda, itulah yang kukirim. Dan tahukah apa balasnya? Sumpah aku meleleh bacanya. “It’s OK, dear. Just call Allah. It’s free call”. Kyaaaa…!!

Tahukah apa itu efek menenangkan? Ketika ada anak kecil jatuh, nangis atau tidaknya dia tergantung pada reaksi orang di sekelilingnya. Betul tidak? Jika mamanya panik, kaget dan tergopoh-gopoh mendatangi  sambil “ya ampun ya ampun, Naaakkk..”, trus cari-cari mana yang sakit, jaminan mutuh deh si anak akan nangis kejer. Tapi, kalau mamanya tenang dan bilang “Kecil ya, De..? Gapapa ya, De’ kalau cuma gini..?”. Niscaya si anak akan berdiri dan meringis, pun nangis juga biasa aja. Nah, pas aku baca SMS si Aura Positif itu, aku merasa seperti anak kecil berorangtua bijak itu. Dan segera kubalas “Mwah! Luv u!”.

Dan kemudian semua orang turun dari kereta. Dan aku, meski enggan, ikut turun. Dan di bawah orang-orang lebih banyak lagi. Suara-suara tidak menyamankan makin beragam “PT KA kacau ni..”.PT KA payah ni..masa kita dibiarin begini”. “Harusnya tanggung jawab ni..balikin duit kita..”. Dan kalimat-kalimat provokatif lain. Aku hanya diam tak nyaman. Maksudku, itu stasiun kecil, petugasnya hanya beberapa dan mereka sedang fokus di gerbong 8 dan 9 yang parah. Ya mereka juga sama2 ga tau keparahan kecelakaan seperti apa, tapi janganlah mengeluh apalagi mencaci dunk..

Aku benar-benar tidak nyaman dengan suasana provokasi itu. Maka ku SMS lagi si Aura Positif tentang ketidaknyamananku itu, dan aku menjadi tenang akan balasannya. Trus aku ingat aku punya teman kantor kan? Ku SMS dia. “Kita gimana?”, karena wacana orang-orang mau sambung bis makin kencang terdengar. Trus dia menghampiri aku dan bilang bahwa dia sudah melihat kondisi gerbong 8 dan 9. “Ngeri..”, katanya. Aku jadi merinding. Dan kata temanku, sambung perjalanan dengan bis bukan pilihan baik karena masih jauh. Aku langsung kepikir mak ku. Kan jaminan aku sampai Semarang telat, ku musti pakai alasan apa biar dia ga panik kan?

Maka, ku SMS adekku, “De’.. Kereta tata ketabrak kereta lain, tapi tata gapapa. Jangan bilang Mak yah..”. Adekku balas, “Hahh?? Lha? Tapi bener tata gapapa?”. Kukatakan pada dia, “Gapapa. Tapi tak berpulsa, tinggal 2 rupiah. Pengen twitteran”. Aku yakin adekku gubrak di kamarnya. Habis itu kami saling SMS-an, hingga tak terasa sudah 1.5 jam. Kemudian diumumkan bahwa rangkaian gerbong 1-4 akan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Maka aku naik kereta dan duduk sebelahan dengan teman kantorku, dan aku lanjut tidur.

Tak lama aku dibangunkan oleh temanku yang sedang membaca berita di detik, dia kasih liat bahwa korban meninggal kecelakaan tadi ada 19 orang. Dan aku langsung bengong nyaris tak percaya. Ini seperti kejadian yang selama ini hanya kuliat di tivi.

Begitulah..

Aku sampai di Semarang jam 7 pagi. Kemudian aku numpang mandi di kosan teman, dan pergi ke tempat akad nikah.

Apa kabar mak ku? Yang kudengar dari adekku, mak ku nangis2 di rumah. Aku bisa mengerti, karena yang dia tonton adalah TV. Jadi, walaupun dia sudah ngobrol denganku subuh tadi, dah denger aku bisa becanda, ketawa2, tapi begitu nonton TV dan adekku bilang “Tata kan tadi di kereta itu”, mak ku langsung nangis kejer, tangis syukur.

Sedangkan aku? Aku tak berani baca berita, nonton TV. Karena rasa syukur sekaligus tak percaya akan apa yang terjadi masih mendominasi. Dan aku sedang tidak ingin menangis.

 

Kaitan part II dengan being smart memang kecil, tapi keputusanku SMS si Aura Positif menurutku adalah pintar. Karena kadang mendapatkan respon yang reaktif, konfirmatif, investigatif atau bahkan sekedar “Serius kamu?” atau “Bohong kamu..”, akan terasa sedikit mengganggu di kondisi seperti itu.

 

Itu saja… Intinya di part ini aku pintar :))

 

Part III sudah siap ko.. ^^