Thursday, May 26, 2011

Kredit

 

Tentang nama siapakah yang berhak/ layak/ seharusnya dipajang

 

Seorang teman membuat tulisan disertai foto, kemudian di akhir tulisan dia kasih keterangan "foto: Adi". Tentu saja maksud dia adalah untuk memberi tahu kepada pembacanya bahwa pihak yang mengambil foto itu adalah si Adi. Jadi, kalau mau memuji, alamatkan kepada Adi, bukan ke dia. Sebaliknya kalau mau mengkritik, ya jangan ke dia karena dia sekedar memajang.

 

Aku yang tahu sejarah foto itu, memprotes karena itu bukan hasil foto Adi "Ralat: fotonya Amir! Dia yg jepret..kameranya sih emang punya Adi". Dan temanku itu langsung pengen edit tulisannya. Tapi sesaat kemudian aku mikir juga, "tapi kan yang ngedit fotonya si Adi yah? Jadi nama siapa dunk yang berhak ditulis atas foto itu?".  Si penjepret kah? Karena atas kemampuan dia dunk jepretannya bisa oke. Si pemilik kameranya kah? Kan kalau ga ada dia, ga bisa tuh si penjepret menjepret. Dan misal yang ngedit fotonya orang lain lagi, kl ga ada dia..ya ga akan seoke itu juga kan fotonya..

 

Itu contoh sederhana di antara kita-kita dimana kredit seolah belum penting. Tidak ada yang merasa lebih berhak untuk dicantumkan namanya. Ibarat kata, tokh ga ada pujian atau penghargaan lain yang berpotensi salah alamat.  Jadi, atas tulisan temanku itu tidak ada edit-edit pada keterangan fotonya.

 

Sekarang agak maju selangkah.

 

Intan dan Angel adalah fotografer. Hasil foto keduanya selalu mendatangkan puja-puji tiap kali diupload. Satu waktu keduanya berjalan-jalan bersama, namun hanya Intan yang membawa serta kamera. Dalam perjalanan itu tiba-tiba Angel gatel pengen foto, maka dia berkata kepada Intan "boleh pinjam sejepret dua jepret?".  Saat mendengar itu aku agak heran, 'kenapa minta ijinnya kayak sungkan gitu.."

 

Selesai jalan-jalan, aku nagih foto donk ke pemilik kamera. "Yang di kolam itu jangan lupa yaaa..luchuuu". Dan si Intan berkata "itu fotonya Angel, Tata.. Udah kukirim ke dia kok file-nya.. Mungkin masih diedit". Aku bingung dalam hati "bukannya dia bisa sekalian ngedit trus upload skalian yah?".

 

Sekarang.. aku baru agak tercerahkan. Ini terkait kredit. Iya nggak?

 

Mari diskusi agar aku makin tercerahkan… ^^

 

 

 

btw, semua nama di atas adalah karanganku, tidak menggunakan nama asli. Apakah aku masuk kategori tidak memberikan kredit selayaknya? Maksudku menyamarkan nama adalah agar mereka ga berasa sedang diomongin banget.. ^^

 

Terucap vs Terasa

…tentang kebutuhan afeksi…

 

Masalah klise bin klasik dari jaman curhat-curhatan  SD sampai sekarang adalah "dia suka aku juga ga yah?" atau "dia cinta ga si sebenernya?". Mayoritas pecinta selalu mengalami sindrom serba mudah: mudah ke-GR-an, mudah kecewa juga. Kadang hanya demi menerima balasan SMS dari gebetan dalam hitungan detik dari terkirim, langsung berasa terbang ke langit dan menjatuhkan vonis "cintaku tak bertepuk sebelah tangan!". Sebaliknya, walau perhatian yang diterima sudah tak terkira namun demi gebetan menolak ajakan nonton bareng langsung terpuruk.

 

Yah begitulah… Tapi, yg lebih bikin geregetaaaann adalah mempertanyakan kesungguhan cinta pasangan/ gebetannya ketika tak ada lisan yang terucap. Padahal kita yang ngliat mereka sudahlah jelas sejelas-jelasnya kalau para pasangan itu saling cinta. Kalimat yang suka kuucapkan atas curhatan seperti ini adalah "oh my… it's obvious! di liat dari seberang laut juga kliataaan kl kalian saling sukaaa" diikuti dengan fakta-fakta cinta. Kadang ada yang menjadi PD, tapi ada juga yang keukeuh "but he never say that". Dan aku hanya bisa histeris "ga mungkin dia ga cintaaaa..".

 

Kemudian aku sok mulai berteori "cinta itu untuk dirasakan, tak harus selalu diucapkan". Maksudku tentu saja adalah memberikan kedamaian kepada mereka yang dicintai tanpa ada "I luv you" verbally. Karena kan memang cara masing-masing orang untuk mengekspresikan cinta itu macam-macam. Ada yang semua-mua dilisankan hingga kadang "I luv u"-nya ga berasa lagi. Tapi ada juga yang ga pernah bilang walau hanya "miss u", bahkan sekedar lewat SMS. Jadi, aku berusaha menyebarkan paham 'rasakan perhatiannya dan artikan itu apa kalau bukan cinta'. Intinya jangan menuntut ungkapan cinta, apalagi menjatuhkan vonis "dia ga cinta".

 

Dan kebiasan dari Alam adalah ga rela aku merasa pintar. Maka diberikanlah aku kejadian berikut.

 

Aku bisa dibilang seorang pengumbar kata cinta karena dengan mudah aku bisa mengucapkan 'I luv u' kepada siapapun berapa juta kali pun. Kepada teman bagian finance yang mengurus klaim-klaim pengeluaranku, aku selalu bilang "I luv u, Pung", tiap duitku cair. Dan kayaknya orang-orang yang mendapat 'I luv u' ku udah pada kebal gitu..ga berasa apa-apa, bahkan kadang ada yang langsung bermuka datar. Padahal aku kan ga ke semua orang bilang itu dan ga setiap waktu juga. Jadi, sebenarnya aku tidak ke sembarang orang berkata cinta. Tapi yaa  sudahlah, biarkan mereka berpikir bahwa ini adalah template kalimatku.

Hingga suatu malam aku sedang berbalas pesan dengan seorang teman, mendiskusikan sesuatu. Makin lama diskusinya makin ke arah aku menempatkan dia di posisi sulit untuk menjawab. Aku sadar dan berkata "kenapa aku nanya ke kamu yah? Tak seharusnya kupertanyakan ke kamu dunk yah…". Dan dia membalas "karena kamu care ke aku". Kyaaaaa…aku menghangat dan mulai meleleh. Dia tahu dan merasakannya, bahwa aku peduli dan sayang ke dia. Dia tidak menganggap 'I luv u' ku itu hanyalah pemanis mulut saja, walau aku sudah sangat jarang bilang juga sih.

 

Jadi… ternyata sesuatu yang terucap itu memberikan sensasi rasa dan energi yang cukup dahsyat. Ini baru di konteks temenan lho, kalau kasih-kasihan bakal lebih dahsyat lagi dunk ya. Maka, wahai para pecinta yang masih kelu lidahnya, ayoooo katakan cinta. Dan bagi mereka yang masih menanti-nanti terucapnya "I luv u too" dari kekasihnya, dahuluilah dengan "aku tau kamu cinta aku".

 

Dan aku memulainya kepada Jonaz. Jo.. aku tau kamu cinta aku. Hayo ngakuuuuu… ^^