Monday, October 31, 2011

Bukan Tentang Aman Ga Aman,

mau crita tentang hari Sabtu, 29 Oktober 2011. Ini harus ditulis agar bisa dikenang :)

 

Agendaku di hari sabtu itu adalah:

Ø  Ke tanah abang untuk finalisasi dan membayar pesanan buku

Ø  Ke plaza semanggi untuk nyusul 2 teman berkaraoke

Ø  Ke blok m untuk menemani teman syuting

Ø  Ke FX untuk midnite In Time

Hariku dimulai dengan diskusi dengan adekku mengenai design buku yang kami pesan. Kemudian jam 1 siang, aku berangkat. Sambil jalan kaki menuju jalan raya aku mempertimbangkan beberapa pilihan rute:

Ø  Ambil duit di karfur seberang jalan – makan di situ- ke tanah abang naik taksi-plaza semanggi naik bemo

Ø  Makan mie aceh di benhill-ambil duit di sebelahnya-ke tanah abang naik bemo-ke pelangi naik bemo lagi

Ø  Ke tanah abang naik taksi-ambil duit di jalan-ke pelangi –makan

Pokoknya concernku adalah:

Ø  Ambil duit: jumlahnya lumayan besar

Ø  Makan: dari pagi belum sarapan

 

Hingga akhirnya, karena aku melapar, kuputuskan untuk ambil duit di karfur seberang jalan trus makan sekalian.

 

Saat aku sampai di ATM Center,  ATM yang kumau sedang diantri oleh 2 orang, aku menjadi orang ke-3, dengan 1 orang menyender di dinding dekat kami. Ketika antrian maju, eh orang itu masuk ke antrian. Jadilah aku mundur lagi. Dan karena hari makin siang dan makin lapar, aku pindah ke ATM di sebelahnya (aku punya 3 kartu ATM dunk.. hohoho..). Nah, karena aku mengambil uang dalam jumlah banyak, maka kumasukkan ke dalam kantong uang recehku yang saat itu sudah kumuati dengan charger hape, modem, earphone, colokan kaki tiga, kertas wajah, dan lainnya aku tak ingat. Kemudian kumasukkan ke dalam tas. Setelah itu, aku menuju foodcourt mini yang mana ternyata tak bisa menjual makanan tanpa nasi. Maka aku urung makan di situ (Yak! Aku ga makan nasi lagiii.. hehehe..). Kuputuskan untuk makan mie aceh di benhill saja.

 

Maka menuju pinggir jalanlah aku. Aku berkata “apapun yang muncul duluan, apakah itu taksi atau bis, itu yang kunaiki”. Dan setelah beberapa saat. Datanglah si bis. Dan kuhentikanlah dia bersama 2 orang ibu-ibu dan mas-mas yang tadi antri ATM. Kami naik buru-buru dari pintu belakang, dorong-dorongan dengan tekanan kalimat dari kernet “ayo cepat..ke tengah ke tengah jangan di pintu semua”. Nah, aku penurut kan..maka aku ke tengah sambil tangan meraba2 dalam tas mencari letak dompet. Kan kantong yang berfungsi sebaga dompet itu gendut yah, tapi aku tak dapat merabanya. Maka, kuambillah uang dari dompet beneranku. Trus ternyata, ada bangku kosong di bagian belakang dekat dengan pintu. Aku menuju ke sana dan duduk di samping ibu-ibu beranak.

 

Hal yang selanjutnya kulakukan adalah mengobrak-abrik isi tas. Dan kantong yang befungsi sebagai dompetku tak nampak. Aku lalu berpikir, mereka ulang kira-kira ada dimanakah dompet itu. Satu-satunya skenario yang mungkin adalah aku meninggalkannya di atas mesin ATM. Karena dompet uang dan dompet kartu berbeda, mungkin saja aku hanya ingat memasukkan dompet kartu ke dalam tas dan meninggalkan dompet uang di atas mesin ATM. Aku berencana untuk segera turun dari bis dan kembali ke karfur sambil berdoa semoga satu di antara mas-mas yang antri ATM menemukannya dan menitipkannya ke security. Hingga kemudian ibu2 di sampingku bertanya “mbak dompetnya ilang nggak?”

Tata: iyah..

Ibu2: bentuknya kayak apa?

Tata: kotak gitu..segini.. (kugambarkan ukurannya)

Ibu2: warnanya hitam bukan?

Tata: iyah...

Ibu2: isinya dompet?

Tata: bukan dompet sih..tapi uang..

 

Saat itu muncul harapan, bahwa kantongku terjatuh dan ditemukan ibu-ibu itu dan dia sedang memverifikasi fakta kantong dengan keteranganku.

 

Ibu2: tadi diambil mas-mas yang naik bareng mbak

Tata: …pelan-pelan meredup… oh ya?

Ibu2: iyah.. tadi saya ragu dia ngambil dari tas mbak beneran atau enggak

Tata: orangnya mana yah sekarang?

Ibu2: itu barusan turun..

Tata: …tersenyum…

Ibu2: banyak mbak uangnya?

Tata: ummhh.. saya habis ngambil di ATM..jadi ya banyak

Ibu2: berapa?

Tata: dua juta (dan barang2 lainnya…)

Ibu2: ikhlas ya mbak..

Tata: iyah..

 

Serius, aku ga yang sedih banget atau marah atau kesel. Karena fokusku adalah membayar buku pesanan di tanah abang. Dan, walaupun uang yang sudah kusiapkan raib, kartu2ku kan masih utuh, jadi aku tetap bisa membayar buku itu.

 

Maka, aku turun di Ratu Plaza, lalu ambil uang lagi.

 

Selesai ambil uang, keluar dari ATM, aku jumpa Yuki (ingat-ingat nama ini yah). Trus aku cerita kejadian yang baru saja kualami, demi kepentingan leganya dada. Trus kami berpisah, dia ke arah PS dan aku ke arah tukang ojek. Info: kondisi jalanan itu kayak parkiran. Maka aku mau naik ojek dari Ratu Plaza-Tanah Abang-minta ditungguin-ke plaza semanggi.

 

Ternyata pas jalan kembali dari tanah abang, batere hape-ku sekarat dan dua temanku yang ada di semanggi bukan pengguna hape yang sama denganku, jadi tak akan bisa kutumpangi nge-charge. “Balik ke Ratu Plaza aja dink, Pak..”, kubilang ke bapak ojek.

 

Kembalilah aku ke Ratu Plaza dengan 2 agenda:

Ø  Beli charger (ada sih teman yang tau tempat jual charger murah meriah seharga dua puluh lima ribu rupiah. Pas aku mau nitip, dia sanggup, tapi ternyata di Bandung sana ajah)

Ø  Benerin laptop. Selama ini aku bergantung pada modem, karena entah bagaimana fasilitas wireless si Putih tak bisa berfungi. Nah, dengan raibnya modem aku, tergeraklah aku untuk memeriksakannya. Karena mbak pencetak buku akan mengirimkan draft akhir-nya pada malam harinya.)

 

Hal pertama dilakukan adalah memeriksakan si Putih. Nah, pas nungguin aku melihat Yuki bergerak dari arah toilet, maka kupanggillah dia dan ternyata dia sedang duduk-duduk bersama temannya di kedai kopi. Maka, ketika si Putih beres, aku menyusul dia. Kemudian aku menuju toko charger hape di seberang kedai, dan harganya mahaaalll..250ribu ajah, earphone juga. Dududu.. Dan Yuki berkata “beli yang murahan aja pasti ada. Tar gue temenin”. Maka benarlah, kami berhasil membeli charger seharga 70ribu rupiah berkat Yuki yang menawar. (itu aku dah berasa murah yah, eh pas crita ke bos ku dia bilang “kok mahall..mbak aku di rumah beli 20ribu tuh”. Zzzzz…)

 

Singkat cerita, setelah itu kami berpisah karena Yuki mau menonton konser musik, aku duduk sendiri di kedai kopi sambil menunggu seorang teman eh 3 orang teman yang sedang melihat pameran batik di JCC. Ternyata, teman2ku itu tak jadi menyusul aku karena mereka sudah berasa mau patah kakinya. Resmilah aku duduk seorang diri hingga midnite tiba. Oiyah, aku batalkan agenda nemenin syuting, karena mood-ku sedang males.

 

Kemudian, ada teman yang menawari aku untuk datang ke acara konser musik di seberang jalan itu, dia ada tiket lebih. Kupikir daripada sabtu malam ku sendiri tiada yang menemani, tiada teman kunanti, aku kesana saja sambil menunggu midnite. Tokh gratis, ada Yuki juga di sana, yang menonton juga (teman yang kasih tiket ga nonton, dia kerja pada salah satu booth gitu..). Maka menyeberang jalanlah aku.

 

Konsernya itu diadakan di semacam sebuah aula, terdiri dari panggung dan lantai berkarpet untuk tempat penonton. Setelah puas melihat-lihat booth di luarnya, aku, Yuki dan 2 temannya masuk ke area panggung, duduk ngampar seperti semua penonton, ngobrol.

 

Saat itulah, ada teman yang baru datang yang baru mau masuk. Aku pamit ke Yuki dkk untuk menjemput temanku itu. “aku ke depan dulu yah.. titip..”, pamitku sambil pegang tas.

 

Aku dan temanku yang baru datang, bukan langsung masuk menonton konsernya tapi keasikan maen2 di luar. Karena 1: maenannya emang asik, 2: kita ga kenal sama sekali dengan band-nya. Jadi walau sudah dimulai, kami santai saja. Setelah puas, kami bermaksud masuk. Dan pas sampai di pintu masuk, hwuaaaa…semua orang berdiri dan melompat-lompaaatt.. Dimana Yukiiii..

 

Aku berjalan permisi-permisi menyibak orang-orang entah berapa ratus kali, hingga ketemulah Yuki. “Yukiii tengkyuu yaa.. Sini tasku!”. Dan respon Yuki membuat dunia di sekitarku kabur, sunyi senyap, paused.. “Lo nitipin tas ke gue?”. Aku melotot dan tak mampu berkata-kata. Kemudian aku menoleh ke temennya Yuki, dan dia “Tadi nitipin yah? Kita ga tau..”. Dan refleks kita berlima langsung nunduk-nunduk mencoba mencari keberadaan tasku. Dan kupikir itu sia-sia. Maka kuputuskan untuk segera lapor.

 

Tapiii.. Aku bingung gitu, musti lapor kemanaa.. Sepanjang mata memandang dan berputar-putar, hanya ada orang-orang berbahagia, mbak-mbak cantik mencatat data kita. Selama kebingungan itu, aku hanya bisa ngomong “oh my.. this is not happening.. this is not happening”. Maka kutanyalah ke pojok bernama ‘redemption corner’, dan katanya security ada di depan. Kesanalah aku, Yuki kusuruh masuk ke dalam lagi saja.

 

Tata: Bapak.. tas saya hilang.. Mau lapor..

Bapak: gimana critanya bisa hilang?

Tata: bodoh sih memang, Pak.. jadi.. la la la la la la … (kucritain lah semua)

Bapak: isinya apa saja?

Tata: hidup saya, Pak.. ada laptop, charger yang baru saya beli tadi, colokan kaki tiga baru beli juga, ummh..buku..kipas..  Pokoknya semuanya, nih saya tinggal pegang hape..

Bapak: ada dompetnya?

Tata: oiyah dompet! Beserta segala macam kartu..

Pas itu yah..aku sudah pada tahap tak ada harapan lagi. Siang tadi aku mendapati pertanyaan2 semacam ini dan dompetku tak kembali kan?

Bapak: ada KTP-nya?

Tata: iya..ada..

Bapak: warna tasnya apa?

Tata: hitam..

 

Kemudian muncul mas-mas panitia bertanya ada apa dan dijawab oleh bapak-bapaknya “Tas-nya ilang di dalam”. Trus ada kudengar mereka saling ngomong “trus gimana trus gimana..”.

Tata: ya pokoknya saya lapor ya, Pak.. (aku pikir tak mungkin kan panitia menghentikan konser sejenak untuk meminta kepada para penonton untuk mengecek sekeliling kakinya apakah ada tasku atau tidak)

Bapak yang lain muncul dari dalam ruangan, “Ini bukan?”, tanyanya sambil angkat taskuuuu! Dan aku langsung samber tas itu dan memeluknya. “Makasiiii…”. Bapak-bapak itu meminta aku untuk mengecek isinya, yang mana aku bingung juga karena sebenarnya aku tak tahu pasti apa saja isi tasku. Beneran. Tasku tuh isinya apppaa ajah.  Sikat gigi? Ada. Lotion? Ada. Tissue? Ada tissue kering ada tissue basah. Sabun muka, cutton bud, baby oil, obat2an, agenda. Mau sumpit? Ada juga. Jadi ketika ditanya “utuh barang2nya?”, aku jawab aja iya. “iyah.. laptop ada, mukena ada, buku ada.”.Dompet?”. "Oiyah! Lupa cek!”. Setelah kuobrak-abrik, “Ada! Makasiii ya, Paakk“. Kata bapaknya “Tadi ada mbak-mbak yang bawa kesini, nemu di lantai katanya”. Aku terharu..huhuhu… “Mbak-nya sebut nama nggak, Pak? Atau nomor hape?”. Dan ternyata tidak.. Yah, siapapun mbak itu..god bless u, sister.. (serasa sayembara kerajaan gitu..dah langsung diangkat jadi saudara ajah..)

 

Dan… dari rangkaian kejadian seru hari sabtu itu, aku bilang ke alam “Alam.. Makasih yah.. Today is my day….for learning lots of thing”.

 

 

^^

 

 

oiyah.. ada sedikit crita tentang ini di sini  oleh temen yang kujemput yang membuatku meninggalkan tasku ^^

 

Monday, October 17, 2011

[aku mengenang Bapak sebagai] Pawang Anak

 

…yang aku dengar…

 

Sedari aku dan adekku lahir, Bapaklah yang bertugas untuk merawat kami. Dimulai dari memandikan, menyuapi hingga imunisasi ke Puskesmas. Ibuku yang tidak bagus kondisi jantungnya memang dikondisikan untuk tidak mendapat jatah pekerjaan yang sekiranya berat. Jadi, tugas ibuku adalah menyusui anak-anaknya.

 

Bapak sangat sayang dan perhatian pada anak. Makanan pertama yang aku makan adalah bubur jagung yang mana tepung jagungnya ditumbuk sendiri oleh Bapak, kemudian memasaknya. Jadi dari jagung yang wujudnya masih berbonggol-bonggol itu hingga menjadi bubur halus yang bisa dimakan bayi, Bapak lah yang mengolah.

 

Tiap kali waktu imunisasi tiba, maka Bapak akan membawa aku dalam gendongannya ke Puskesmas untuk disuntik. Dan ketika aku sudah beradikkan D’Dika, maka D’dika digendong sedangkan aku dituntunnya. Kata ibuku, “Bapak ga pernah merasa risih diliatin orang-orang.. Bapak tak peduli kalau ada suara ‘laki kok imunisasi anak’. Saking sayangnya Bapak ke Ibu dan anak-anak..”.

 

Tiap kali anaknya sakit, maka Bapak akan sangat panik. Seringkali Bapak akan berkata “De’.. Sakitnya kasih Bapak saja..biar Bapak yang merasakan sakitnya..”. Dan, entah bagaimana (ibuku menyatakannya sebagai kekuatan doa), sakit kami suka berpindah ke Bapak. Salah satu contohnya adalah sakit gatel D’Dika. Ketika akhirnya sudah berpindah ke Bapak, gantian Bapak yang  tak bisa tidur karena gatel “Ya ampun, Bu.. ternyata gatelnya kayak giniii..pantesan Yayang (panggilan D’Dika) rewel banget…”.

 

Sayang Bapak ke anak, tak hanya ke anak-anaknya saja, tapi ke semua anak. Mungkin aku sudah pernah cerita tentang ini. Bahwa di jaman aku masih kecil, mungkin umur 5 tahun, masih marak dan wajar ada orang menawarkan anaknya. Waktu itu ada ibu-ibu muda menawarkan anak-anaknya dari rumah ke rumah. Bapak tentu saja tersentuh dan tergerak untuk mengasuhnya. Bapak merayu-rayu Ibu, “Ayolah Bu.. kasian.. itu yang gedhe seumuran Tata, yang kecil seumuran Yayang. Kasian mereka..”. Ibuku yang merasa tak pernah bisa mengasuh anak, tak ingin menambah beban Bapak. Bapak tak menyerah “Satu aja yah kalo gitu..ga usah dua-duanya..”. Kemudian Ibu berkata, “Pak.. Niat Bapak menolong itu bagus, tapi kebayang nggak kalau nanti semua anak sudah besar. Kalau ternyata nanti yang cewek jauh lebih cantik dari Tata gimana? Atau yang cowok lebih pintar dari Yayang gimana? Kita harus memikirkan perasaan masing-masing anak..”. Dan akhirnya Bapak menyerah, menggagalkan keinginannya ‘membeli’ anak :)

 

..yang aku lihat…

Sejak aku bisa mengingat, aku sudah melihat ada anak lain di rumah selain adekku.  Di rumah kami slalu adaaa saja anak yang dititipkan. Entah itu saudara, tetangga atau anaknya teman. Sejak aku kecil aku sudah terbiasa momong anak kecil. Bapak menularkan kesayangannya kepada anak-anak kepada kami.  Setiap pulang sekolah, Bapak pasti sudah menjemput bayi saudara atau tetangga untuk dibawa ke rumah. Kemudian kami libatkan dalam segala aktifitas kami. Pernah beberapa kali, aku dan Bapak dan bayi pergi ke kaki gunung Merapi , naik truk, untuk ambil pasir :)

Kadang, anak-anak itu diajak menginap di rumah. Eh sering dink.. ^^

Rumah kami selalu ada anak-anak. Baju-baju anak selalu ada.

Kalau kenaikan kelas, Bapak suka mengajak kami semua piknik untuk merayakannya. Kalau liburan panjang dan kami sekeluarga mudik ke rumah nenek, suka diajak juga. Pokoknya sudah dianggap keluarga sendiri.

 

Ketika aku SMP-SMA, sepulang sekolah aku suka mampir ke tempat temannya Bapak atau Ibu untuk menjemput anaknya, kubawa ke rumah. Bayangkan pake seragam sekolah, gendong anak, naik bis. Luchu yah.. Nanti main di rumah, malamnya atau esok harinya kami kembalikan ke orang tuanya. D’Dika juga begitu. Dialah yang bertanggung jawab atas selera musik anak-anak itu ^^

 

Biasanya anak-anak itu akan mulai ‘lepas’, ketika sudah mulai besar dan kebutuhan mainnya meningkat. Kadang sedih sih.. Psstt..aku suka sering menangis sendiri ketika ada anak yang beranjak besar.  Sedangkan Bapak..aku nggak tahu sih gimana perasaannya, kami tak pernah membicarakannya. Tapi yang pasti Bapak tak pernah mengungkit-ungkit, apalagi mencatat siapa saja yang pernah dimomongnya ^^

 

Ketika Bapak berpulang, ada beberapa anak yang tentu saja sekarang sudah besar  datang ke rumah. Ada yang masih kuingat ada yang enggak. Ibuku yang selalu bilang ke Bapak memberitahu siapa yang sedang berdoa untuk Bapak. “Pak.. ini Sani, Pak..”. Nah, Sani ini adalah anak yang kami ajak main sejak dari lahir. Kami sayaaang sekali ke dia. Dan mungkin jodoh mungkin juga kebetulan, tanggal lahirnya sama dengan Bapak. Bapak ada di sana saat Sani lahir, dan Sani ada di samping Bapak ketika Bapak berpulang. Kata Mama-Papanya Sani, “Sani mewakili Mbak Tata mendampingi Bapak”.  Pas aku ketemu Sani, aku peluk dia, aku berterimakasih ke dia. Bohong kalau aku bilang aku tak iri ke dia, tapi aku bersyukur karena Bapak pergi didampingi semua yang Bapak sayangi dan sayang Bapak. D'Dika berulaaang kali bilang "Banyak yang sayang Bapak.. Banyak banget..."

 

 

Jadi, jika sekarang aku tumbuh menjadi pawang anak. Dimana gampang ajah anak-anak untuk lengket sama aku, ya itu berkat Bapak.

Dulu jaman aku mulai naksir cowok, ibu pernah bilang “Kalau liat cowok, jangan lupa lihat bagaimana dia bersikap ke anak kecil”. Aku bingung, dan Ibu melanjutkan “Lihat Bapak…”. Dan aku tahu yang Ibu maksudkan. Kasih sayang seseorang ke anak-anak, ke anak kecil, itu tak bisa dipalsukan. Ketika kita bisa menyayangi anak tanpa membedakan dia siapa, maka tak akan jadi masalah apakah nanti kita memiliki anak atau enggak.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

 

 

......Bapak, Tata kangen....

Wednesday, October 5, 2011

Cinta yang Ingin Kumiliki

 

Ada seorang teman yang tidak percaya pada kisah cinta dan memunculkan ketidakpercayaan pada pernikahan. Ya, dia berkata dia tidak akan menikah. "Memiliki pasangan hidup, iya.. Tapi tidak dengan menikah". Dia menyatakan bahwa "ga ada pasangan menikah yang membuat gue jd pengen nikah juga. Ga ada itu cinta sejati. Ya paling Habibie-ainun aja sih…udah itu aja..".

 

Yak.. Bisa dibilang aku juga merasakan itu: keminiman role model pernikahan bahagia sejahtera hingga bikin ngeces pengen juga (no offense yah.. ^^).  Aku pernah berkata ke ibuku "Tata ga mau menikah untuk asal menikah. Kalau terlalu banyak yang harus dikompromikan hanya untuk sekedar status menikah, Tata ga nikah juga gapapa kok". Itu kuucapkan sebagai respon kampanye ibuku bahwa cinta itu bisa dipelajari, bahwa bapak-ibu menikah tanpa cinta dengan perbedaan seluas samudra tapi akhirnya bisa jalan dan tak terbayang kalau dulu mereka tidak menikah. Bapak-ibu ku menjalankan pernikahan dengan pengorbanan di sana-sini, yang aku belum sanggup bayangkan bahwa aku akan bisa melakukan itu juga. Maka dari itulah muncul kalimatku di atas. Dan ibuku berespon dengan "apapun pilihan Tata, ibu mohon jangan memilih untuk hidup sendiri. Janganlah pernikahan bapak-ibu, seperti apapun itu, membuat Tata trauma". Begitulah, entah kenapa ibuku berpikir bahwa aku telah mencapai tahap enggan menikah karena trauma melihat pernikahan. Hingga saat lebaran kemarin pun ibuku minta maaf karena merasa sudah salah asuh.

 

Ya saat itu aku merasa memang pernikahan bapak-mak ku bukan jenis pernikahan yang aku ingin miliki juga. Terlalu banyak kompromi, terlalu banyak pengorbanan. Ibuku sering dan selalu membanggakan proses pernikahan kilatnya yang hanya membutuhkan waktu 2 minggu dari kenalan menuju lamaran. Dan aku slalu berpikir "aku ga bisa seperti itu.. Aku ga mau banyak perubahan atas nama penyesuaian".

 

Tapi semua itu sekarang berubah…

 

Bapak berpulang tanggal 25 September kemarin setelah sakit beberapa hari. Selama sakit itu Ibu selalu mendampingi. Menjelang saat terakhirnya, Bapak yang sebenarnya dalam keadaan tak sadar, minta duduk dipangku adekku dan kemudian memeluk Ibuku dengan sangat erat "Ayo, Bu',.. Kita berdoa". Dan ibuku mulai berdoa dan bapakku mengamininya.

 

Trus, dari saat Bapak pergi hingga dimakamkan, Ibuku cukup tegar. Dia selalu di samping Bapak dan ngobrol terus dengan Bapak. "Bapak.. Kepalanya diikat dulu ya, Pak.. Ni, pake kain kerudungnya Tata, Pak..". atau "Kita pulang ke rumah ya, Pak.. naik mobil, Pak..". Dia terus berkomunikasi dengan keyakinan Bapak pasti mendengarnya. Hingga ketika akhirnya Bapak baru selesai dimakamkan, Ibuku mengambil bunga dan menaburkannya sambil berkata "Tanda cinta ya, Pak..", dan kemudian ibuku pingsan.

 

Dan saat itulah aku berkata dalam hati "aku mau memiliki cinta yang seperti ini. Aku ingin cinta yang seperti ini.". Kompromi, pengorbanan atau apapun, itu bukan apa-apa ketika disandingkan dengan cinta yang seperti itu.  Dan aku mau. Tuhan…dengar kan? :)

 

 

 

 

 

Note:

Memang cinta itu butuh pengorbanan bukan? Entah kenapa aku sempat lupa..