Aku pernah bilang bahwa aku merasa Tuhan memanjakan aku. Kadang Tuhan iseng sih godain aku, tapi itu tak lama, habis itu manjain lagi. Aku juga sudah menjadi kebal ketika ada yang berkomentar “Wah..Jakarta tidak menempamu. Padahal konon kehidupannya keras”.
Beberapa waktu lalu aku membaca tulisan di link ini, tentang betapa jahatnya Jakarta, betapa tak masuk akalnya juga hingga membuat si penulis “lama-lama takut tinggal di Jakarta”. Aku tidak menyangkal bahwa itulah Jakarta. Sebelum ada tulisan itu, aku telah (sering) mendengar ada teman yang dihipnotis di dalam bis kota hingga raib handphone nya atau tentang teman yang dibekap dua orang dan satu orang lain mengaduk-aduk isi tasnya, di pinggir jalan raya di pagi hari. yak, inilah Jakarta.
Dan yang akan kuceritakan ini pun terjadi di Jakarta.
Cerita 1
Kemarin aku akan menonton film bersama bocah-bocah, maka sebelum berjumpa di bioskop, aku mampir dulu di swalayan untuk membeli sesuatu. Setelah memilih-milih sebentar, aku putuskan untuk membelikan bocah-bocah itu sumpit untuk pemula yang luchu desainnya dan mudah digunakan (jaminan langsung bisa menyumpit bakso yang bulat itu!). Segera setelah mengambil sumpit-sumpit itu, aku menuju kasir yang sedang melayani bapak-bapak yang belanjaannya banyaaaakk sekali. Sambil menunggu dia dilayani, aku menonton Happy Feet yang diputar di layar TV di belakang mbak kasir. Mataku tertuju ke depan, tanganku memegang 3 sumpit. Tiba-tiba sumpitku diambil sama bapak tadi dan disodorkan ke kasir ketika belanjaan terakhirnya sedang di-scan. Aku kaget dan memandang si bapak. Dia tersenyum dan “let me pay them”. Aku ga mau dunk. Dia entah siapa, apa motivasinya pula. Dan dia tetep ngotot meminta si mbak kasir menyertakan sumpit itu ke daftar belanjaan dia. “Please, let me. I know they’re for children. I love children.”. Dan aku hanya bisa “Are u sure?” dan “ya udah deh..”, kemudian “aku beli yang lain juga aahh.. haha..”, becandain dia. Kata dia “oh silakan.. Tapi ini tetep kubayarin yah..”.
Bayangkan! Aku berjumpa manusia asing nan baik hati yang membayari barang yang kubeli, di pusat Jakarta. Di sebuah tempat yang lebih sering dipenuhi oleh orang yang saling skeptis dalam diamnya. Bahkan aku pun sempat bertanya-tanya nyaris curiga. Dan selama transaksi di kasir sekejab itu dia crita kalau dia tinggal di Jakarta sendiri sedangkan anak istrinya di Amerika sana. Ketika kutanya apakah dia sering melakukan itu, bayarin belanjaan orang? Dia bilang “enggak juga. Kebetulan saja aku tau km beliin untuk anak-anak”. “It does inspire me. Thank you”, aku bilang gitu sebelum pisahan.
Cerita 2
Pagi ini cuaca Jakarta begitu gloomy. Ketika aku berangkat kerja, mendung berangin pertanda akan hujan. Kemudian, ketika aku akan turun dari bis untuk ganti bis lain, hujan sudah turun dengan serunya. Aku adalah manusia tanpa payung. Maka aku mengeluarkan blazer dari dalam tas dan menutupkannya ke kepala. Aku tau akan tetap basah, tapi lumayan lah untuk menunda kekuyupan sampai aku berteduh di 711 terdekat. Tiba-tiba ada payung di atas kepalaku berbarengan dengan suara dari samping kiriku “Barengan saja, mbak..”. Aku memandang si mbak itu, “Terima kasih.. Mau naik bi situ juga?”. Dan dia mengiyakan. Maka berjalanlah kami berdua di bawah payungnya. Aku tersentuh oleh tindakannya. Kalau mau dibilang kecil atau biasa saja, aku kira tidak. Banyak pejalan kaki berpayung lainnya yang lewat, sebanyak yang tanpa payung dan menutupi kepalanya menggunakan tas mereka sebagai usaha melindungi diri dari hujan. Namun, gadis muda itu memayungi aku.
Dari dua cerita itu, satu saja kalimatku: Aku cinta Jakarta, aku suka tinggal di Jakarta ^^