Thursday, November 14, 2013

Rest Area itu Bernama Toilet Blues

Toilet Blues, film, Dirmawan Hatta, 2013
Setiap kita pasti pernah melakukan perjalanan, baik yang direncanakan ataupun spontan. Menggunakan  itinerary yang lengkap hingga detail biaya dan rutenya atau asal berjalan begitu saja. Satu hal yang pasti adalah bahwa setiap perjalanan memiliki tujuan.
Anjani dan Anggalih adalah dua orang anak muda yang melakukan perjalanan dari asrama tempat mereka belajar menuju (sepertinya) Jakarta, tempat tinggal mereka. Mereka melakukan perjalanan tersebut karena Anjani dikeluarkan dari asrama karena dianggap liar dan Anggalih yang merupakan teman Anjani dari kecil, menemaninya. Dalam perjalanan tersebutlah kita menyaksikan bagaimana dua manusia memikirkan kembali tujuan hidup mereka.
Karena pada hakikatnya pun hidup kita ini adalah sebuah perjalanan: dari kita lahir hingga meninggalkan hidup kelak. Lain dengan perjalanan  fisik menuju suatu tempat, maka perjalanan hidup tidak memberikan kita kesempatan untuk menyusun rencana sama sekali. Kita terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian kita tumbuh dan pada suatu titik kita dituntut untuk memiliki tujuan hidup. Mau jadi apa hidup kita ini. Ada kalanya kita dibiarkan menentukan tujuan hidup kita sendiri dengan dibekali doa dan tuntutan. Namun, tidak jarang juga ada pihak lain yang menempatkan kita di hidup yang telah ditentukan tujuannya.
Ada yang mengibaratkan perjalan hidup seperti mengarungi sungai, kita mengikuti arusnya dan suatu hari nanti akan mencapai tujuan, yaitu muara. Ada orang yang sekedar menjalani hidup seperti kayu yang terapung, menyerahkan perjalanan hidupnya kepada arus sungai yang membawanya. Namun, adapula yang berusaha menentukan arah perjalanan hidupnya dengan berenang atau bahkan membuat sampan. Pada akhirnya memang semua akan sampai ke muara masa depan, namun tentu saja perjalanan yang ditempuh dengan bermacam-macam akan memberikan hasil yang tidak sama. Muara yang dicapai antara mereka yang memilih seperti kayu yang hanyut dengan mereka yang berenang tentu saja berbeda.
Toilet Blues mengajak kita untuk sejenak memikirkan kembali perjalanan hidup kita melalui kedua tokohnya, Anjani dan Anggalih. Dua anak muda yang menjalani hidup atas petunjuk dan kemauan orang tua mereka. Setelah beberapa saat menjalani pendidikan di seminari, Anggalih meyakini bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi frater untuk kemudian mengajak umatnya masuk surga bersamanya. Hingga kemudian dia melakukan perjalanan bersama Anjani tersebut. Namun, justru dengan menghentak Toilet Blues mengawali kisahnya dengan adegan kematian orang yang ditabrak kereta. Kematian yang merupakan sebuah akhir, dijadikan pembuka sebuah film tentang kehidupan. Sungguh suatu pembuka yang manis dalam berironi.
Dengan halus Toilet Blues memberikan gambaran keresahan dua manusia yang mulai ragu akan tujuan hidupnya. Anggalih mulai mempertanyakan kembali niatnya menjadi frater apakah benar keinginannya atau sekedar menjadi alat penutup malu sang Ayah atas ‘dosa’nya di masa lalu. Anjani yang tidak memiliki keleluasaan dalam hidupnya yang serba ditentukan oleh seorang Papa yang maha kuasa pun mengalami hal yang sama.
Perkawinan perjalanan fisik dan psikis dua manusia tersebut mengemuka di Toilet Blues dengan sederhana dan luwes. Setiap adegan menggambarkan kedua perjalanan tersebut dengan begitu efektifnya. Misalnya ketika tiba-tiba muncul penjual sepatu menemui Anggalih yang sedang bimbang di tengah malam. Bukan suatu hal yang aneh dan mengada-ada jika ada tukang penjual sepatu keliling masuk ke ruang tamu penginapan bukan? Namun, lebih dari itu, penjual sepatu juga berkontribusi pada perjalanan psikis Anggalih. “Sepatu ini akan melindungi mas di segala cuaca, baik kemarau ataupun penghujan. Mas tidak akan terpeleset ke dalam lumpur. Apalagi kalau mas sedang berjalan terburu-buru.”. Kita menangkap bahwa Anggalih sedang ditawari sepatu untuk alas kakinya, dan juga ‘sepatu’ untuk jiwanya. Kita dapat melihat adegan tersebut sebagai tunggal seorang penjual sepatu menawarkan dagangannya atau dapat pula kita melihatnya dengan lebih dalam. Keduanya sama-sama dahsyat.
Tak ada hal yang begitu saja di Toilet Blues. Kereta yang menjadi penyebab kematian seseorang di awal film dan menjadi salah satu alat transportasi Anggalih-Anjani, bukanlah menjadi hanya kereta. Seiring berjalannya film, kereta tersebut menjadi salah satu pembawa pesan, jika ada yang menanyakan apa pesan film ini. “Kepala kereta itu enak, tinggal mengikuti rel. Lain dengan kepala manusia. Bisa nengok kanan, nengok kiri, bisa belok kemana saja”.
Atau ketika mereka menumpang sebuah truk dan menyadari bahwa mereka berada di daerah yang tidak mereka kenal. Secara fisik mereka tersesat dari tujuannya, namun Anjani menanggapi hal tersebut dengan “Tokh kita tidak tau juga kita akan kemana”. Sungguhlah tidak ada kata tersesat bagi mereka yang tidak memiliki tujuan bukan?
Film yang senyap tanpa musik, obrolan yang minim di antara tokoh-tokohnya, lanskap yang  lengang, suara angin dan ombak yang dominan, semua itu benar-benar seperti mengajak kita untuk mengerti kebimbangan Anggalih dan Anjani. Tanpa musik mendayu dan narasi sendu (seperti yang biasa kita temui pada film-film Terrence Mallick), Toilet Blues mampu menarik emosi kita dan melarutkannya ke dalam kisahnya (lebih dari yang Mallick lakukan).  Dan di saat yang bersamaan juga memberi kita kesempatan untuk merenungkan perjalanan hidup kita masing-masing.  
Dialog-dialog yang agak random sedikit menjadikan Toilet Blues ‘absurd’. Anjani dan Anggalih berbicara dengan bahasa casual sehari-hari, namun kemudian ada tokoh perempuan yang begitu puitis dengan menyebut dirinya sebagai Perempuan yang Dirajam  dan teman-temannya memanggilnya dengan kata Pelacur Abadi. Anjani pun menjadi berbicara dengan bahasa baku ala teater ketika berhadapan dengan lelaki bukan-pretty-boy utusan ayahnya. Ada pula tokoh kepala stasiun yang selalu berbicara dalam bahasa Jawa. Namun hal tersebut menjadi luruh dan tak perlu dipermasalahkan ketika di akhir film Anjani bertanya kepada Anggalih “Jadi, kita mau kemana, Lih?”. Membuat kita, yang telah begitu sabar mengikuti perjalanan mereka yang disusun begitu sabarnya oleh si pembuat film, ingin berteriak “jadi sepanjang film kalian ngapain aja kok di akhir tidak menemukan jawaban mau kemana hidup kalian”. Tapi di saat kita berteriak demikian, Toilet Blues pun serasa meneriaki kita “kemana saja kamu sepanjang usia ini hingga tidak tau tujuan hidup kamu”.

Ibarat kita sedang melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bandung melalui jalan darat, tersedia rest area untuk kita beristirahat, melepas penat, membeli bekal, mengisi kembali bahan bakar dan melihat ulang rencana yang telah kita susun untuk dilakukan selama nanti di Bandung. Maka, Toilet Blues dapatlah menjadi sebuah rest area untuk kita memikirkan kembali hidup kita apakah sudah berada di rel yang tepat untuk diikuti atau masih perlu direvisi atau justru tersesat entah dimana.
...namung ati nggih punika ril-ing manungsa..
Dan hatilah rel hidup manusia


*ditulis oleh saya yang kebetulan memasuki usia baru ketika film ini ditayangkan. Serasa mendapatkan hadiah ulang tahun yang begitu tepat

Thursday, November 7, 2013

It’s Not Always A u-get-what-u-give And Vice Versa


 

Kadang yah pengen memperlakukan orang seperti halnya mereka memperlakukan kita. Simply to show them ‘u get what u give’ rules.

 

Ada jenis orang yang nyaris SELALU berkomunikasi dengan kata ‘ok’. And it’s kinda annoying..sometimes....

TaTa: tar kita jadi nonton bareng kaann? Kabari yah kepastiannya. Aku bli tiket jam 5.

Dia: ok

TaTa: kalo ga jadi atau ada tambahan tiket, kabar-kabar

Dia: ok

Beberapa waktu kemudian

TaTa: aku udah mau bli tiket nich..

Dia: ok

TaTa: -________-  kok ok.. KAMU MAU DIBELIIN TIKET BERAPA BANYAK??

Dia: oh ok. Aku aja.

Atau

Dia: udah baca novel Ini blum?

TaTa: suuuddd…

Dia: ok

TaTa: ………………………………….

Atau

Dia: hari ini kemana?

TaTa: di kamar aja,beberes

Dia: ok

TaTa: ………………………………….

 

Trus ada juga jenis orang yang tiap membalas pesan membuat kita pengen teriak: BASIIIII! MADINGNYA UDAH TERBIT! UDAH GANTI EDISI UDAH GANTI REDAKSI!

Tau kan orang yang butuh waktu seribu tahun untuk balas pesan.. Kadang sih emang ga perlu direspon secepat itu, tapi kan kadang ada yg urgent.
 

Nah, sering aku bertekad untuk membalas mereka dengan melakukan yg mereka lakukan.

Tapi buat apa?

Karena jelas-jelas itu akan mengubah kita. Hanya untuk menunjukkan ke mereka tentang sesuatu hal yang belum tentu mereka akan pahami juga. Ya kan?
 

It’s their style. And I have mine.

And they’re my friends.  And I love them. Kalo ga gitu bukan mereka lagi.

*kemudian nyanyi don’t u ever wish u were someone else u were meant to be the way u are exactly… cause there’s nothing about u I would change..
 
 
ditulis dalam rangka penghiburan kepada diri sendiri... :)))))

Monday, September 9, 2013

Sepatu Baru


Tak ada yang salah dengan sepatu yang kupakai untuk berjalan selama ini [sejauh ini]. Namun sepatu itu slalu menuju ke arah itu [arahmu].  Langkahku menuruti si sepatu [tanpa ada keinginan mempertanyakan pun menolak]

Sudah cukup aku mengikutimu. Langkah kakiku tak akan pernah menyamaimu. Dan aku akan selalu berada di belakangmu.

Sebab di sampingmu adalah kemustahilan, maka aku menuju kemungkinan

 

Dengan sepatu baru aku meninggalkanmu

Monday, January 21, 2013

Wednesday, January 2, 2013

Saling Menyakiti yang Tak Perlu

Nama saya TaTa, telah keluar dari rumah semenjak lulus SMU untuk kuliah dan kemudian bekerja.  Dari sekian lama itu rupanya saya sudah terlalu tergesek dengan gempita ibukota, otak saya sudah terlalu Jakarta.
Liburan Natal kemarin saya pulang ke rumah di sebuah desa di Jawa Tengah sana. Kota terdekat adalah Salatiga. Pada suatu hari, teman SMU saya yang sekarang berdomisili di Bali mengajak berjumpa dan saya iyakan. Ketika berpamitan kepada ibu dan mengatakan dimana saya akan berjumpa dengan teman, beliau berkata “oh.. di situ mahhaaall! Dan ga enak pula”. Dan saya hanya manggut-manggut.
Sesampainya di sana, saya menemukan tempat yang sangat sangat sangat manis. Rumah tua yang dijadikan kafe. Furniture nya vintage nan bersahaja. Saya jatuh cinta dengan suasananya dan memaklumi jika harga makanannya mahal seperti kata ibu saya.  Namun, ketika membaca menunya, saya langsung berkata “oh my.. Ibu lebay!”. Seporsi gado-gado, harganya 10ribu (mengingat di Jakarta seporsi gado-gado ada yang harganya 35ribu), secangkir kopi di bawah sepuluh ribu.  Dudududu… Di sebelah mana mahalnyaaaaa
Kemudian saat teman saya datang dan saya ceritakan ibu saya memberi warning bahwa tempat ini mahal dan ga enak, ternyata dia mengalami hal yang sama. “Buat Ibu-ibu, semua tempat itu mahal dan ga enak! Hanya masakannya sendiri yang enak! Mereka ga tau aja harga segini di Jakarta murah meriah!
Sedikit diskusi selanjutnya menyimpulkan bahwa gaya hidup kami ini sudahlah sangat Jakarta dan itu niscaya menyakiti perasaan ibu kita. “Kalau mereka tau segelas kopi di starbak itu 36ribu, bisa stroke tuh kayaknya”.
Kebalikannya, saya pun tersakiti dengan gaya hidup keluarga saya. Mereka membuang sampah di selokan depan rumah (yang mana sebenarnya itu sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu dan semua baik-baik saja), mereka membiarkan charger handphone tercolok sepanjang masa (ketika selesai menge-charge yang dicabut hanyalah si handphone), mereka tidak pernah mematikan lampu teras. Apalagi ketika ibu saya ke pasar, saya ingin pingsan rasanya. Untuk membeli beberapa buah tahu, ada 2 kantong plastik yang terpakai, 1 untuk tempat tahu kemudian 1 lagi untuk tempat tahu yang sudah dibungkus plastik tadi. Kemudian pindah untuk beli gula, dapat plastik lagi. Demikian seterusnya. Jangankan untuk membawa kantong dari rumah, untuk menolak pemberian kantong plastik dari pedagang, ibu saya tak terpikiran.
Saya, yang sok cinta bumi ini sangat stress melihat gaya hidup keluarga saya itu. Namun demikian tak berani untuk menularkan semangat go green ala-ala ke keluarga saya, karena memang rasanya tak perlu.  Seperti halnya mereka tak perlu tau gaya hidup saya yang mungkin akan menyakiti mereka.
Lebih baik mencegah (sakit hati) daripada mengobati bukan?