Monday, January 21, 2013

Wednesday, January 2, 2013

Saling Menyakiti yang Tak Perlu

Nama saya TaTa, telah keluar dari rumah semenjak lulus SMU untuk kuliah dan kemudian bekerja.  Dari sekian lama itu rupanya saya sudah terlalu tergesek dengan gempita ibukota, otak saya sudah terlalu Jakarta.
Liburan Natal kemarin saya pulang ke rumah di sebuah desa di Jawa Tengah sana. Kota terdekat adalah Salatiga. Pada suatu hari, teman SMU saya yang sekarang berdomisili di Bali mengajak berjumpa dan saya iyakan. Ketika berpamitan kepada ibu dan mengatakan dimana saya akan berjumpa dengan teman, beliau berkata “oh.. di situ mahhaaall! Dan ga enak pula”. Dan saya hanya manggut-manggut.
Sesampainya di sana, saya menemukan tempat yang sangat sangat sangat manis. Rumah tua yang dijadikan kafe. Furniture nya vintage nan bersahaja. Saya jatuh cinta dengan suasananya dan memaklumi jika harga makanannya mahal seperti kata ibu saya.  Namun, ketika membaca menunya, saya langsung berkata “oh my.. Ibu lebay!”. Seporsi gado-gado, harganya 10ribu (mengingat di Jakarta seporsi gado-gado ada yang harganya 35ribu), secangkir kopi di bawah sepuluh ribu.  Dudududu… Di sebelah mana mahalnyaaaaa
Kemudian saat teman saya datang dan saya ceritakan ibu saya memberi warning bahwa tempat ini mahal dan ga enak, ternyata dia mengalami hal yang sama. “Buat Ibu-ibu, semua tempat itu mahal dan ga enak! Hanya masakannya sendiri yang enak! Mereka ga tau aja harga segini di Jakarta murah meriah!
Sedikit diskusi selanjutnya menyimpulkan bahwa gaya hidup kami ini sudahlah sangat Jakarta dan itu niscaya menyakiti perasaan ibu kita. “Kalau mereka tau segelas kopi di starbak itu 36ribu, bisa stroke tuh kayaknya”.
Kebalikannya, saya pun tersakiti dengan gaya hidup keluarga saya. Mereka membuang sampah di selokan depan rumah (yang mana sebenarnya itu sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu dan semua baik-baik saja), mereka membiarkan charger handphone tercolok sepanjang masa (ketika selesai menge-charge yang dicabut hanyalah si handphone), mereka tidak pernah mematikan lampu teras. Apalagi ketika ibu saya ke pasar, saya ingin pingsan rasanya. Untuk membeli beberapa buah tahu, ada 2 kantong plastik yang terpakai, 1 untuk tempat tahu kemudian 1 lagi untuk tempat tahu yang sudah dibungkus plastik tadi. Kemudian pindah untuk beli gula, dapat plastik lagi. Demikian seterusnya. Jangankan untuk membawa kantong dari rumah, untuk menolak pemberian kantong plastik dari pedagang, ibu saya tak terpikiran.
Saya, yang sok cinta bumi ini sangat stress melihat gaya hidup keluarga saya itu. Namun demikian tak berani untuk menularkan semangat go green ala-ala ke keluarga saya, karena memang rasanya tak perlu.  Seperti halnya mereka tak perlu tau gaya hidup saya yang mungkin akan menyakiti mereka.
Lebih baik mencegah (sakit hati) daripada mengobati bukan?