...tentang rasa bahasa...
Definisi tokcer menurut sumber ini, adalah:
1 baik; bagus (tt mesin, mobil, dsb): mobilnya selalu dipelihara, mesinnya --; 2 manjur; mujarab: kini sudah ditemukan obat yg -- untuk penyakit malaria; 3 ki subur (mudah hamil)
Yang paling lazim digunakan sih kayaknya yang kedua yah.. Kemudian disusul yang ketiga dan akhirnya definisi pertama yang jujur jarang kudengar digunakan.
Nah, sehubungan dengan definisi ketiga. Ternyata sebenarnya pun jarang digunakan, karena telah terjadi sedikit penyimpangan penggunaan. Arti katanya kan ‘mudah hamil’, tapi coba kita lihat penggunaannya, lebih ke ‘mudah menghamili’. Betul? Misalkan ada seseorang yang baru menikah kemudian diketahui beberapa minggu kemudian sudah hamil beberapa minggu juga, maka pasti akan adaaaa saja komentar ‘wah..tokcer nih..”. Ya kan?
Aku tidak akan membahas penyelewengan atau penyimpangan penggunaan kata tokcer itu, apakah seharusnya ditujukan ke si penghamil atau si yang dihamili. Tapi lebih ke: perlukah komentar itu?
Aku kan suka membolak-balik logika yah.. Misalnya, contoh paling sederhana adalah ketika adekku yang kecil bilang “aku sayaaaaaang banget sama Mamas”, maka aku akan nyamber “maksudnya dedek ga sayang Tata?”. Ya itu hanya buat menggoda adekku sih sebenernya.. :))
Nah, sekarang kita tarik ke ketika kita mengomentari seseorang yang bisa hamil dan/atau menghamili dalam waktu singkat dengan “wah..tokcer..”, menurut aku itu secara tidak langsung kita bilang bahwa yang tidak secepat mereka itu tidak tokcer. Dalem ga tuh..?
Kalau kita bisa berkata “semua sudah diatur Tuhan.. Tuhan tau kapan waktu terbaik buat kamu untuk punya anak” kepada mereka yang menanti-nantikan kehamilan tapi tak kunjung datang, kenapa kita tak berkata yang sama kepada yang cepat diberi kehamilan? Kenapa malah memujinya? Prestasi? Artinya yang tidak seperti itu adalah kalah?
Aku suka deh apa yang pernah kubaca di suatu novel *lupa judulnya*: walau menggoyang ranjang hingga dunia bergoncang, kalau blum dikehendaki oleh yang Maha Hidup, ya ga kejadian. begitupun sebaliknya.
Memang soal memiliki anak atau tidak, segera atau ditunda itu adalah keputusan personal juga. Sudah makin banyak kutemui orang yang memilih untuk tidak memiliki anak kandung, dan biasanya mereka discreet, demi kemaslahatan bersama^^. Tapi, secara umum seumum-umumnya memiliki anak itu (dianggap) ujung lain kebahagiaan bahkan kesempurnaan hidup. Jadi, kalau bisa janganlah mengusik-usik soal itu atau lebih berhati-hatilah, meski secara tidak langsung (karena 'resiko pembalikan logika'-nya melibatkan kata 'bahagia' dan 'sempurna'.. ^^)
….sebenarnya ini draft lamaaaaa yang kutulis atas suatu keresahan di kala itu, tapi sudah diwakili dengan baik oleh tulisan seorang teman di sini. Yang mana kupikir tulisan dia lebih sahih karena ditulis oleh pelaku…