Monday, November 28, 2011

Tokcer

...tentang rasa bahasa...

 

Definisi tokcer menurut sumber ini, adalah:

1 baik; bagus (tt mesin, mobil, dsb): mobilnya selalu dipelihara, mesinnya --; 2 manjur; mujarab: kini sudah ditemukan obat yg -- untuk penyakit malaria; 3 ki subur (mudah hamil)

 

Yang paling lazim digunakan sih kayaknya yang kedua yah.. Kemudian disusul yang ketiga dan akhirnya definisi pertama yang jujur jarang kudengar digunakan.

 

Nah, sehubungan dengan definisi ketiga. Ternyata sebenarnya pun jarang digunakan, karena telah terjadi sedikit penyimpangan penggunaan. Arti katanya kan ‘mudah hamil’, tapi coba kita lihat penggunaannya, lebih ke ‘mudah menghamili’. Betul? Misalkan ada seseorang yang baru menikah kemudian diketahui beberapa minggu kemudian sudah hamil beberapa minggu juga, maka pasti akan adaaaa saja komentar ‘wah..tokcer nih..”. Ya kan?

 

Aku tidak akan membahas penyelewengan atau penyimpangan penggunaan kata tokcer itu, apakah seharusnya ditujukan ke si penghamil atau si yang dihamili. Tapi lebih ke: perlukah komentar itu?

 

Aku kan suka membolak-balik logika yah.. Misalnya, contoh paling sederhana adalah ketika adekku yang kecil bilang “aku sayaaaaaang banget sama Mamas”, maka aku akan nyamber “maksudnya dedek ga sayang Tata?”. Ya itu hanya buat menggoda adekku sih sebenernya.. :))

 

Nah, sekarang kita tarik ke ketika kita mengomentari seseorang yang bisa hamil dan/atau menghamili dalam waktu singkat dengan “wah..tokcer..”, menurut aku itu secara tidak langsung kita bilang bahwa yang tidak secepat mereka itu tidak tokcer. Dalem ga tuh..?

 

Kalau kita bisa berkata “semua sudah diatur Tuhan.. Tuhan tau kapan waktu terbaik buat kamu untuk punya anak” kepada mereka yang menanti-nantikan kehamilan tapi tak kunjung datang, kenapa kita tak berkata yang sama kepada yang cepat diberi kehamilan? Kenapa malah memujinya? Prestasi? Artinya yang tidak seperti itu adalah kalah?

 

Aku suka deh apa yang pernah kubaca di suatu novel *lupa judulnya*: walau menggoyang ranjang hingga dunia bergoncang, kalau blum dikehendaki oleh yang Maha Hidup, ya ga kejadian. begitupun sebaliknya.

 

 

Memang soal memiliki anak atau tidak, segera atau ditunda itu adalah keputusan personal juga. Sudah makin banyak kutemui orang yang memilih untuk tidak memiliki anak kandung, dan biasanya mereka discreet, demi kemaslahatan bersama^^. Tapi, secara umum seumum-umumnya memiliki anak itu (dianggap) ujung lain kebahagiaan bahkan kesempurnaan hidup. Jadi, kalau bisa janganlah mengusik-usik soal itu atau lebih berhati-hatilah, meski secara tidak langsung (karena 'resiko pembalikan logika'-nya melibatkan kata 'bahagia' dan 'sempurna'.. ^^)

 

 

 

 ….sebenarnya ini draft lamaaaaa yang kutulis atas suatu keresahan di kala itu, tapi sudah diwakili dengan baik oleh tulisan seorang teman di sini. Yang mana kupikir tulisan dia lebih sahih karena ditulis oleh pelaku…

 

 

Wednesday, November 16, 2011

A Happy Birthday

 

Sedari aku lahir, sudah menjadi kebiasaan di keluargaku bahwa hari lahir itu adalah hari yang istimewa dan harus diistimewakan. Tiap hari lahir, tiap bulannya, ibuku akan membuat bancakan berupa tumpeng kecil beserta sayur dan lauknya trus jajanan pasar, trus dibawa ke pak modhin untuk didoain trus dimakan rame2 oleh anak-anak kecil sekitar rumah. Itu setiap hari Selasa Kliwon untukku, Sabtu Pahing untuk D’Dika dan Senin Legi untuk Ragil. Filosofinya bahwa bancakan itu kan selametan yang ditujukan untuk batir kita. Kan konon ketika kita lahir ke dunia ini, di dunia yang lain sana ada kembaran kita juga, yang akan selalu menemani kita, makanya namanya batir. Dan selametan itu sebagai wujud terimakasih kita untuk dia. Katanya begitu.. Dan keluargaku agak ketat dalam hal ini, karena entah gimana pas terlupa atau terlewatkan eh pas aja kita sakit entah panas entah rewel. Dan sebagai manusia yang pandai menghubung-hubungkan sesuatu, sakit itu karena batir kita protes ^^

 

Tapi sampai usia tertentu, selametan itu berubah dari tumpeng menjadi bubur merahputih dan kemudian berhenti. Biasanya sih sampai si anak bilang sendiri ‘sudah tak usah buat bubur lagi”. Yang mana diyakini itu pesan dari si batir.

 

Jadi mulai usia sekolah, kebiasaan itu sudah tak ada, digantikan dengan mengundang teman-teman ke rumah untuk makan nasi kuning setiap tanggal lahir. Ketika semakin besar, berganti menjadi memberikan uang saku lebih ketika ulang tahun untuk makan bersama teman-teman.

 

Selain kebiasaan eksternal seperti itu, kebiasaan internal juga diajarkan sejak dini. Kita akan berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mengucapkan selamat kepada siapapun di rumah yang sedang berulang tahun. Dan sepertinya pemenangnya selalu ibuku yang memang rajin bangun tengah malam untuk berdoa. Tiap jam 12 malam, pasti ibuku akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian Bapak ketika bangun untuk sholat subuh. Nah, kalau antara aku dan D’dika...hehehe suka seinget dan sesempetnya. Bahkan pernah di suatu tahun aku dan dia tak saling mengucapkan, pertama karena aku lupa dan kemudian dia balas dendam ^^ Kalo Ragil, nah..dia kecil-kecil tapi tinggi harganya..kita harus menyiapkan kado untuknya demi ucapan selamat ulang tahun darinya. Walaupun sudah diluruskan konsepnya bahwa harusnya dia yang ngasi kado, tp tetap saja “ya pokoknya kalau mau aku bilang slamat ulang tahun, mana dulu kadonya!”.

 

Semakin besar angka usia, semakin ulang tahun itu menjadi hal yang-kasarnya- ga penting. Beda dengan jaman sekolah dulu, di mana ulang tahun itu menjadi yang dinanti-nanti karena itu adalah momen. Baik itu momen untuk meminta hadiah ke orang tua, momen untuk mengundang gebetan makan siang bareng. Pada suatu titik beberapa tahun lalu, aku dan Nurul sepakat untuk bilang bahwa “hari ulang tahun ya hari yang sama dengan hari yang lain. Sekarang kita bukan lagi di tahap ulang tahun itu istimewa”. Entah itu memang kita tulus menyimpulkan atau hanya respon penghiburan kita terhadap fakta bahwa ucapan selamat ulang tahun yang datang di tengah malam semakin berkurang saja :)))

 

Tapi… Ulang tahunku kali ini…istimewa! Sesuai dengan doa ibuku di pagi hari “Semoga hari ini beneran istimewa, seistimewa harinya”. Aku dibangunkan oleh bunyi telfon dari Fadil Timorindo di jam 1 dini hari dan kemudian dia bernyanyi satu lagu full “happy birthday tata..happy birthday tata…”. Padahal aku tau dia sedang berada di sebuah percetakan di Benhill sana *peluk fadil*. Dan selama sehari semalam  aku menerima banyak cium & peluk baik fisik ataupun virtual. Hadiah-hadiah juga melimpah. ‘Ibuku’ di kantor datang membawa tentengan tas berisi hadiah2 dari krucil-krucilnya di rumah. Siangnya kami makan siang istimewa bermenukan masakan italia, sorenya kami makan klappertart nikmat buatan Timmy Malachi. Yummyyy..!

 

Aku menemukan kembali Jonaz yang lumayan lama menghilang, Di hari ini. Jonaz yang dulu pelit nelfon karena “mahal kl nelfon dr hallo”, kemarin mendadak telfon dan ngobrol panjang diakhiri dengan “ya kalau km mau menerima aku apa adanya..” ^o^

 

Banyak berkah di hari ini..banyak hadiah yang berwujud hadiah ataupun pelajaran hidup.. Dan seperti doa Endah “mudah-mudahan makin disayang sama orang di sekitar”, itulah yang kurasakan: aku bersyukur aku diberkati dengan banyak cinta dan sayang, hingga kadang (malah) nyaris membuatku manja. Tapi, sesuai doa 'ibuku' di kantor “may u have many moves!”, aku jadi memiliki tekad. Yep! Semoga aku bisa melakukan banyak pergerakan. Dimulai dari yang didambakan dan didoakan mayoritas: move on dari kisah kasih yang sudah lusuh menuju yang cerah ceria. Semangaatt! Dan tak lupa, seperti doa Claudia "semoga hidup kita menjadi berkah untuk sesama". Amin amin amin!

 

 

 

 

Oiyah! Aku mendapat ucapan ulang tahun dari filmmaker paling hits se-asia tenggara lho.. Hohoho.. Katanya “Slamat ulang tahun ya kamuuuu.. Jangan galak-galak lagi yaaa.. Haha..”. Baiklah..ada yang pernah bilang mulutku itu sangat berpotensi 'nyilet' eh sekarang ada yang bilang kalau aku galak.. Sip sip! Aku akan berusahaaa!

 

 

 

Thursday, November 10, 2011

Roda itu Berputar, Baby…

 

...tentang siklus....

 

 

Dulu yah..

Awal kita kenal

Tak ada hari tak ada malam tanpa saling bicara

Tak ada saat kita tak bertukar kata dan cerita

Selalu, kita terlalu sayang untuk menghentikan semua itu

Satu lagi! Satu lagi!”

Itu yang pasti kita ucapkan di tiap batas waktu

Dan tentu saja banyak ‘satu lagi!’ setelah ‘satu lagi!’

 

 

Waktu terasa begitu kurang untuk kita

 

 

Sekarang apa kabar?

Oh kita masih saling bertukar kata dan cerita

Meski tak selalu, tak setiap saat

Dan..

Porsi saling diam saling mendengarkan nafas makin ada

Apa lagi?” mulai menggantikan “Satu lagi! Satu lagi!

[bahkan] Terkadang kita kehabisan cerita di kala begitu banyak waktu tersedia

 

Hhhhhh....

Roda itu berputar yah, sayang…(?)