Bukan ingin menggeneralisasi, tapi sepertinya kita digeneralisasi lho...
Generalisasi 1
Pas mau nonton duo piano. Si penyambut acara kasih pidato dalam dua bahasa. Pertama Bahasa Indonesia, trus dia ulangi dalam bahasa Inggris, untuk mengakomodasi keberagaman audiens. Nah, pas sampai bagian akhir, dia ngingetin audiens untuk mematikan handphone. “Mohon untuk semua alat komunikasi dinonaktifkan atau diset menjadi getar saja”. Udah, habis itu nggak dia translate ke bahasa Inggris, melainkan lanjut dalam bahasa Indonesia, “Saya tidak perlu terjemahkan dalam bahasa Inggris, karena biasanya orang bule sudah mengerti dan paham aturan ini. Bahkan, mereka sudah mempersiapkan diri untuk acara seperti ini mereka tidak membawa handphone nya, ditinggal di rumah. Kita-kita aja yang masih belum bisa lepas dari handphone”.
Okay…dia menggeneralisir bule paham aturan dan Indonesia blum paham.
Generalisasi 2
Sudah 2 minggu ini aku berkantor di gedung baru. Gedungnya konon milik Jepun, entah gimana maksudnya, tapi yang jelas banyak tenant nya adalah perusahaan Jepun, dan tentu saja orang Jepun nya juga lumayan banyak. Penanda Jepun lainnya adalah petunjuk-petunjuknya. Kalau di gedung lain, di sebelah lift kan ada petunjuk “In case of fire do not use elevator”, trus di sebelahnya bahasa Indonesia nya, “Jika terjadi kebakaran, jangan gunakan elevator”. Nah, di gedungku ini ada satu kolom lagi berisi tulisan coret-coret kanji Jepun itu. Termasuk evakuasi dan jalurnya, juga tersedia dalam 3 versi bahasa: Indonesia, Inggris dan Jepun.
Tapi tidak demikian halnya dengan satu pengumuman yang menggelitikku. Di sebelah lift, di lantai dasar, ada tulisan “BERILAH KESEMPATAN KEPADA YANG KELUAR LIFT TERLEBIH DAHULU”, dalam versi bahasa Indonesia ajah. Ga ada versi English ataupun Jepun nya. Hmm… Apakah dianggap kalau orang bule dan jepun tidak perlu diingatkan untuk mendahulukan orang yang keluar lift, sedangkan orang Indonesia masih harus diingatkan kah?
Jadi inget ama Paul Agusta tentang filmnya yang At The Very Bottom of Everything. Film itu adalah tentang sakitnya, yaitu Bipolar. Di narasi di awal film, ada kalimat “nama penyakitku adalah bipolar disorder..”. Ketika ditanya kenapa dia lebih memilih untuk menyebutkan nama penyakitnya secara lisan dan gamblang di awal film, bukan dengan membiarkan penonton tahu dengan sendirinya, Paul menjawab “Bukannya saya underestimate intelegensia audiens, tapi saya ingin semua jelas dengan apa yang ingin saya sampaikan.” Okay, mari kita garis bawahi kata ‘underestimate’. Walaupun dia bilang ‘bukannya underestimate’, tapi brarti dia punya kekhawatiran bahwa ada penonton yang ga akan bisa nangkep apa yang dia film-kan, yang emang rumit buanget.
Balik lagi ke tulisan ‘dahulukan yang keluar lift’, mungkin kalau kutanya ke manajemen gedung kenapa tulisan itu hanya dalam versi bahasa Indonesia, mungkin jawabannya adalah “Bukannya kami underestimate kebiasaan orang Indonesia, tapi….”, dan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya aku akan menyahut “emang gitu si kenyataannya…buanyak orang yang suka ga sabar untuk masuk ke lift, entah takut ketinggalan lift entah takut spot favoritnya keambil orang..”
^o^