Unsent, Unread, Uncalled for
Why can’t I be longed for?
Why can’t they accept?
Too long have I endured this tasteless scar
That’s been torn open from my broken heart
My head opens only to let out screams
I can’t take it anymore
Yet I’m afraid to end
Moving pictures are what I make of them
Lifeless creatures whom which I share one rooftop
But I know I can’t make it alone
As much as I despise it, I’m incapable on my own
No honor have I given to their name
To my own, I’ve done plenty
Three years of glamorous stars fallen on salted waters
One eye of theirs watches my every move
Each step, word, each scratching moment
I’ve tried to wither away
No use
They always find a better way
And even better display
Then why am I afraid to end myself?
I’m no good to them, neither them to me
I was a mistake from all their happenings
Forget everyone, forget it all
Because I can’t dream myself to death
It takes a pill, a dagger, a broken heart
I only have one
One million
Too bad I can’t choose
For all those times
My own flesh and blood disapprove of me
Always have and will
So tonight I say good riddance
To hell
On earth
---------------------o------------------------------------
Kalau aku sedang berada di titik ekstrem, maka biasanya aku lari ke tulisan, seringnya puisi. Titik ekstrem itu bisa seneng banget, sedih banget, sakit banget atau kangen banget. Kalau aku lagi dilanda bahagia, maka biasanya ku bisa langsung menuliskannya. Kalau lagi sedih atau sakit, ku butuh waktu untuk mencerna semua, trus kalau udah agak mendingan ku baru bisa nulis. Jadi sebenernya ketika satu tulisan miris jadi, itu aku udah 80% pulih.
Tapi kadang untuk menulis itu tidak mudah. Pikiran harus benar2 tenang. Jadi, sebelum aku sampai 80% pulih itu, yang kulakukan adalah menenggelamkan diri dalam puisi2. Serius. Aku baca buku2 kumpulan puisi, cari2 yang cocok dengan keadaanku. Entah gimana, itu lumayan menyembuhkan. Ketika kita membaca sesuatu yang pas dengan yang kita alami, hati dan nafas jadi lumayan ringan. Seolah2 ada yang mengerti kita dan mungkin senasib dengan kita. Dan entah gimana itu melegakan. Jadi, kalau kamu masuk kamarku dan di lantai bertebaran buku2 puisi, ga perlu tanya pasti aku sedang dalam badai.
Nah, yang belum pernah kutulis adalah ketika aku kesel dan marah. Karena kalau aku marah, aku bawaannya mecahin barang...hehehe... ga dink..paling aku lempar2 dart, habis itu tiduuuurrr….. Kalau udah agak mendingan, aku monolog (sebenernya dialog si) ama Tuhan. Habis itu ku jembreng semuanya. Lega… Pas mau mulai nulis, feel dan mood-nya dah ga ada lagi. Jadi aku belum pernah bisa nulis sesuatu yang berisi kemarahan yang menggebu2. Mentok adalah sinis. Itu pun kata seorang teman yang tiba2 SMS, ”Ta, kok tulisan kamu sinis yah?”. Padahal maksudku ngamuk... =(
Menemukan puisi tentang kemarahan juga susah. Kebanyakan puisi adalah tentang jatuh cinta, kasmaran, cinta bertepuk sebelah tangan dan patah hati. Padahal nih ya..kalau hati lagi kesel baca puisi tentang kasmaran yang ada adalah mencibir dan berkata “Cuih..”.. Oopss...Aku berkata kasar! ^o^
Dan biasanya kemarahanku tidak tahan lama. Karena aku adalah orang gampangan, gampang marah, gampang seneng, gampang nangis, gampang teriak.. Pokoknya gampangan dah... Jadi, untuk bener2 dapet feel nulis amarah tuh susaaaaahhh...
Tapi kali ini aku sedang memiliki satu kemarahan kronis. Kasusnya dah lumayan lama, tapi ku marahnya belum tuntas dan ga ilang2. Biasanya kan kalau aku marah, lama2 aku lupa sendiri. Nah ini enggak... Kayak kemarahan satu temenku pas SMP dulu. Dia dikeluarin dari sekolah. Dia kesel. Nah, tiap dia liat anak pake seragam SMP trus di lengan kanan atasnya ada tulisan SMP dia, dia jadi kesel dan pengen marah2. Tiap dia liat gedung sekolah SMP-nya, dia jadi pengen nglemparin bom molotov. Paling parah kalo liat Kepala Sekolahnya (walau hanya mobilnya), pengennya nabrak trus nglindes2. Nah, marahku yang sekarang mirip2 kayak gitu lah... Pokoknya kalau liat mereka, ku jadi panas dan pengen bakar2. Hohoho...
Seandainya ku bisa mencurhatkannya, mungkin akan mendingan. Misal aku paling nggak bisa menuangkannya dalam tulisan mungkin ku ga akan sedendam ini. Tapi ya ituuu: susaaahhh...
Dan kemaren, pas aku kepanasan karena emosi jiwa, ku tiba2 inget ku pernah kenal dan berinteraksi dengan seorang anak yang waktu itu sedang dalam masa pemberontakan. Cewek, SMA, keluarganya sangat perhatian, tapi dia malah merasa sangat dikekang. Dia luapkan semua kemarahan dia dalam tulisan, dia tunjukkan ke keluarganya dan dengan besar hati mereka menerbitkannya (jadi aku bisa menconteknya...hehehe...)
Kemarahan anak itu menurutku adalah murni. Marah dan kesal yang udah sampai ubun2 dan dia ledakkan dalam tulisan. Marah yang ga perlu diragukan lagi. Marah yang jujur. Marahnya sang pemberontak. Bayangkan yah.. Dia anak dari seorang wakil dekan di sebuah fakultas di universitas negeri di Depok (jaelah sok dimisteriuskan gini..hehehe...), mamanya kurator. Mereka tinggal bersama kakek nenek yang mantan menteri. Yaa... Aturan mungkin ada, beban untuk menjaga nama baik keluarga juga ada, dan mungkin dia keberatan. Dan dalam puisi andalannya dia menuliskan
I’m a girl with a story to tell
Born in heaven, raised in hell
Trus ada lagi satu kemarahan dan kebencian yang sangat dia ungkapkan dengan
House is not a home with you in it
Dan ketika launch buku puisinya, dan ditanya sumber inspirasinya dengan wajah biasa saja dia menjawab, “My mom”. Auch..!
Jadi, kupikir puisi2 anak ini sangat layak dijadikan referensi di saat kita marah dan kesal dan dihampiri kebencian. Maka kemarin ku ambil buku itu dari rak dan kubaca satu-satu dan kutemukanlah puisi di atas yang merepresentasikan kemarahanku. Waktu itu (3 tahun lalu), pas aku baca puisi itu untuk pertama kali aku berkomentar, “Oh my.. Ni anak kasihan banget... Merasa tidak diterima, diabaikan dan selalu disakiti. Padahal mungkin ga gitu..”. Dan sekarang komentar itu kuberikan untuk diriku sendiri. Ya. Aku merasa aku menyedihkan.
Tapi seperti yang dikatakan anak itu di akhir puisinya, I say good riddance to hell on earth. Aku tidak akan membiarkan diriku larut dalam marah dan dendam yang menyakitiku. Aku akan seperti temen SMPku yang akhirnya dengan pintar menghindari hal2 yang sekiranya menimbulkan amarahnya. Dia memilih untuk tidak mendekati gedung sekolah SMPnya, dia ga mau lagi longok2 baca lengan kanan atas anak SMP untuk tau dia sekolah dimana, dan jika di jalan dia melihat ada mobil kepala sekolahnya dia akan berkata, ”Oh itu hanya mobilnya yang mirip”.
Aku akan berusaha!