Monday, January 21, 2008

Sayekti dan Hanafi_Refleksi Kenyataan Sepanjang Masa (?)

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Ketika melihat berita tentang seorang bayi berkelamin ganda dan orang tuanya yang kesulitan biaya operasi, aku langsung teringat pada film Sayekti dan Hanafi, yang versi baru tentu saja (tahun 2005). Yang mengingatkanku bukan saja pokok persoalan KESULITAN BIAYA yang dialami sepasang manusia demi sang anaknya, tapi juga kegiatan merokok oleh sang Bapak. Di berita kusaksikan sang bapak dari anak berkelamin ganda berkata bahwa dia untuk makan sehari-hari saja mengalami kesusahan, tapi di kantong bajunya terlihat sebungkus rokok. Dan di film Sayekti dan Hanafi, di awal film pun adegan yang dimunculkan adalah Hanafi yang sedang duduk di becaknya sambil merokok. Dan adegan merokok ini secara konsisten terus ditampilkan di sepanjang film, bahkan saat dia mendapati di rumah tidak ada nasi dan air untuk mengisi perutnya. Sangat ironis dan memprihatinkan.

Kisah Sayekti dan Hanafi begitu REALISTIS dalam memberikan gambaran perjuangan hidup manusia yang mengambil setting tempat di Pasar Cilincing, Tanjung Priuk. Para wanita bekerja mengandalkan kekuatannya dengan menjadi buruh angkut. Mereka berlarian menyambut mobil barang yang datang dan mencoba mengangkut karung sayur sebelum mobil pengangkutnya benar-benar berhenti. Pendarahan yang dialami Sayekti kala dia terjatuh di jalan dan mengharuskan dia melahirkan di rumah sakit SWASTA, bukan di bidan atau rumah sakit pemerintah, adalah realistis. Sesuatu yang berada diluar kontrolnya yang pingsan, maupun suaminya yang saat itu sedang menarik becak.

Saat Hanafi termangu di depan loket administrasi setelah mendengar kalimat TIGA JUTA ENAM RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH cukup menggambarkan kegundahan dan kebingungannya. Ekspresi terkejut dan shock tidak ada, karena Hanafi telah memprediksi bahwa biaya yang harus dibayarnya pasti mahal. Kenekatan Hanafi untuk menarik becak walau sudah dilarang oleh juragannya, karena hari itu akan ada razia, adalah sangat lumrah dan wajar. Sakitnya Hanafi adalah hal yang sangat wajar dan su-dah seharusnya mengingat dia terus-menerus merokok. Begitu pula dengan hampir tergelincirnya Sayekti ke pelukan bapak berseragam Pemda karena tergiur pinjaman uang untuk menebus anaknya di rumah sakit. KEWAJARAN DEMI KEWAJARAN disuguhkan dalam film ini hingga terjalin menjadi kisah yang begitu NYATA. Tak ada yang berlebihan atau nampak dibuat-buat. Bahkan marah-marahnya pegawai loket kepada Hanafi dan Sayekti pun dapat dimengerti dengan menilik posisinya sebagai karyawan rumah sakit swasta yang tidak mendapat bantuan pembiayan dari pemerintah.

Perhatian dari teman-teman sesama tukang becak dan buruh angkut, dari Menik-yang berprofesi sebagai PSK, Nirmala-bintang sinetron yang sedang ingin menaikkan kembali imagenya, adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Sedikit kesalahpahaman antara Hanafi dan Sayekti, saat Sayekti mendapati Menik berada di kamar bersama Hanafi untuk membantu Hanafi meminum obat sangatlah manusiawi. Keberatan Pak RT untuk mengeluarkan surat keterangan tidak mampu untuk Hanafi adalah tepat, karena Hanafi tidak memiliki KTP ataupun surat pindah dari kampungnya.

Namun, di antara banyak kewajaran gambar terdapat pula beberapa KEKURANGWAJARAN. Mengenai Hanafi yang merokok padahal makanan dan minuman tidak tersedia, tidak termasuk dalam kekurangwajaran, karena itulah fenomena yang ada. Hal yang terasa kurang wajar dimulai ketika si bayi lahir, perawat menggendongnya dan memperlihatkannya pada para pengantar yang berada di ruang tunggu (OUTDOOR), lalu Hanafi pun meng-adzani anaknya di lorong itu juga. RUANG BAYI yang TIDAK BERTIRAI pun terasa agak janggal, mengingat kebanyakan rumah sakit menetapkan jam tertentu untuk ”pengintipan” bayi. Lebih terasa janggal lagi bahwa di box bayi tidak tercantum PAPAN NAMA identitas bayi dan orang tuanya. Namun demikian Sayekti dapat senantiasa mengenali bayinya tiap menjenguk, karena box bayi (yang dia anggap) anaknya selalu berada di ujung, di deretan terdekat dengan jendela. Cukup wajar untuk dipertanyakan, mengingat rumah sakit itu adalah rumah sakit bersalin, yang pastinya sering hadir bayi baru di ruang bayi itu, maka sewajarnya ada pergantian posisi box bayi.

Keberanian Sayekti kabur dari rumah sakit ketika selama tiga hari berturut-turut Hanafi tidak membesuknya dan anaknya adalah wajar. Namun menjadi tidak wajar, ketika TIDAK ADA gambar mengenai dia yang KESAKITAN karena ASI di payudaranya tidak dikeluarkan. Jika tidak mau menampilkan adegan Sayekti memerah susu, baju yang basah karena rembesan ASI dan raut kesakitan cukup mewakili keadaan Sayekti yang tidak menyusukan ASInya. Ketidakwajaran berikutnya adalah TIDAK DINAMAInya anak Hanafi dan Sayekti hingga berhari-hari, bahkan sampai akhir film pun kita tidak tahu siapa nama bayi mereka.

Namun, secara keseluruhan Sayekti dan Hanafi apik dalam memberikan gambaran kondisi sosial masyarakat Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Semoga kisah seperti ini bukan merupakan kisah yang akan selalu cocok dan up to date dengan segala keadaan zaman. Semoga tidak perlu ada Sayekti dan Hanafi sequel ketiga, keempat, kelima dst untuk di masa yang akan datang. Amin.

Ini adalah tambahan, hasil keISENGanku. >_< Saat Sayekti dirawat setelah melahirkan, di papan nama yang terpasang di tempat tidur, tertulis tanggal lahir sang bayi adalah 15 AGUSTUS 2005. Saat Hanafi menanyakan biaya perawatan, dikatakan totalnya adalah Rp 3.650.000, 00 termasuk biaya rawat inap selama 5 hari. Artinya dari melahirkan, Sayekti dirawat selama 5 hari. Kemudian, Hanafi tidak datang membesuk selama 3 hari berturut-turut (terlihat juga dari adegan Sayekti yang menunggu-nunggu dengan memakai 3 baju yang berbeda). Setelah itu Sayekti kabur dan kemudian minta ijin untuk pulang dan berjanji untuk menebus bayinya ketika uang telah terkumpul. Tidak diceritakan secara jelas berapa lama waktu yang dibutuhkan Sayekti untuk bekerja mengumpulkan uang hingga dia menjemput sang bayi. Misalkan waktunya adalah 10 hari. Maka total jumlah hari dari saat Sayekti melahirkan adalah 5+3+10= 18 hari. Jadi saat Sayekti dan Hanafi membawa pulang anaknya adalah tanggal 2 September. Ya, pokoknya bulan September lah.. Nah, tapi sepanjang perjalanan mereka dari rumah sakit, di pinggir jalan masih banyak ornamen2 MERAH PUTIH untuk merayakan kemerdekaan. Yang membuat terasa agak janggal adalah bahwa ornamen itu masih nampak baru: merahnya masih muerah. Dan, klimaksnya adalah ketika ada bapak-bapak PENJUAL tiang dan BENDERA melintas. Mana ada orang jualan bendera di bulan September kan? Hohoho...

Eh, ada lagi keisenganku. Si Sayekti manggil Hanafi kadang-kadang terdengar ”Ka Nafi”, kadang ”Ka” aja, kadang ”Han”. Pas di akhir-akhir terdengar (cukup jelas) dia manggilnya ”Kang”. Kan si Hanafi lahirnya 21 April 1975 di Yogyakarta, asumsinya mereka berdua berasal dari suku Jawa dunk.. Maka, panggilan yang cocok menurutku adalah ”mas”. Hari gini mana ada istri manggil suaminya ”kang”, sejawa-jawanya dia, kayanya ga mungkin deh... Hehehe...

Eh, ada satu lagi hasil keisenganku yang agak GA PENTING. Di prolog ditulis kalo film ini dibuat karena 20 tahun sejak Sayekti dan Hanafi dibuat oleh Irwinsyah, ternyata masih ada kisah serupa. 1987 + 20= 2007 kan? Nah, tapi pas di awal film diputer, pas Hanafi duduk di becak sambil ngerokok, ditulisnya ”menjelang 60 tahun kemerdekaan”. 1945+ 60 = 2005 dunk ya? Hmmm....

No comments:

Post a Comment