Monday, September 7, 2009

Kenapa Aku Puasa_Hasil Aku Mikir Setelah Baca Punya Mbak Onit

 

 

Aku selalu puasa di bulan Ramadhan. Belum pernah sekalipun terbersit pikiran untuk tidak berpuasa. (Walaupun tiap puasa selalu menanti2kan saatnya 'keguguran'... Hohoho...) Alhamdulillah ku ga pernah sakit pas Ramadhan,. Perjalanan jauh mudik pun, ku tetap puasa. Karena kupikir di jalan kan ku tinggal duduk dan tidur. Dan aku juga belum jompo. Jadi ga punya alas an kuat untuk ga puasa ^o^

 

 

Aku mulai puasa di usia sangat dini, yaitu 4 tahun. Dan itu penuh lho. Ku ga pernah melewati tahap belajar puasa setengah hari. Sekali puasa langsung kaffah! Hohoho...

 

 

Alasannya apakah? Begini...

Sekilas aku pernah crita kan kalau ibuku punya mantan agama? Nah, itu menjadi salah satu penyebab aku mengalami puasa dini. Memiliki orang tua yang berbeda agama dan tinggal di lingkungan yang sok merhatiin agama, adalah berat. [Ku bilang ’sok merhatiin agama’, karena sorry to say yah..mereka itu agamanya abangan tapi kalo liat tetangga beragama beda, trus bergunjing..”ih..si itu kan Konghucu.. si ini Shinto...”].

 

 

Kehidupan beragamaku dimulai oleh nenekku dari pihak Bapak. Dia selalu mengajak aku ke musholla. Sebagai nenek2 maka beliau posisinya adalah paling depan, sedangkan aku yang bocah ada di belakang. *sigh* Sebenernya agak berat nulis ini. Ketika sholat sudah dimulai, aku suka diintimidasi oleh anak-anak kecil lainnya. Aku ditarik dari barisan dan dibawa ke pojok musholla. 5-6 anak mengelilingiku, dan bertanya, ”Ibu kamu agamanya Islam atau Kristen?”. Seolah-olah kalau tidak beragama Islam adalah kriminal. Aku yang tentu saja ketakutan menjawab, ”Islam ko...”. Dan tentu saja mereka tidak puas, ”Aslinya apa? Islam atau Kristen?”. Dan aku hanya bisa diam, menahan tangis.

 

 

Aku masih pengen marah kalau inget saat2 itu. Bagaimana bisa coba anak2 kecil punya pikiran ngurusin agama orang? Siapa yang meracuni pikiran mereka hingga mereka mengintimidasi anak kecil lainnya?!

 

 

Aku tidak mungkin mengadu ke ibuku atau bapakku kan? Dan dari dalam diriku mulai muncul rasa rendah diri karena ibuku ’beda’, kadang malu juga. Seolah-olah agama ibuku adalah aib.

 

 

Pernah waktu itu aku dan nenekku terjebak hujan di masjid. Ada nenek2 lain yang bergabung dan mengajak mengobrol. Aku masih ingat betul pertanyaannya ke nenekku, ”Jadi sebenarnya mantu njenengan agamane opo?”. Aku langsung mbleret..berusaha mengecilkan diri, menyusut dan menghilang. Dan nenekku menjawab, ”Udah jadi Islam ko..”. Masih ga puas, ”Nikahnya juga udah Islam?”. Nenekku dengan sabar menjawab, ”Udah..”.

 

 

Mungkin karena terlecut oleh pertanyaan2 sinis, pandangan2 dan bisikan2 menyakitkan, maka tumbuh tekad dalam diriku untuk menjadi seorang Islam yang baik. Kukatakan 'mungkin' karena aku tidak ingat apa yang kupikirkan saat itu, yang masih tersimpan dengan baik adalah omongan2 orang saja. Aku jadi anak yang ingin menunjukkan bahwa ’ibuku boleh begitu, tapi lihatlah aku sebagai aku’. Dan mungkin ada pemikiran untuk menghapus stigma anak pasangan beda agama pasti kacau jadinya.

 

Aku ga yakin juga si... Aku kan waktu itu masih keciiiiiillll... Yang pasti mulai TK aku sudah puasa penuh. *bangga* 

 

 

Jadi alasan pertamaku untuk puasa adalah untuk melindungi diriku dan ibuku dari kesinisan orang2. Walaupun tetep aja komentar orang2 ga enak didenger, ”Ih...Mbak Tata pinter puasa ya...padahal ibunya enggak..”. Mari ketik C spasi D.. cape deh...

 

 

Memasuki masa SD, alasan puasaku masih sama karena SD ku deket rumahku. Dan mungkin ditambah pengetahuan bahwa puasa itu wajib hukumnya buat Islam. Kalau dikatakan wajib artinya kalau tidak dilakukan berdosa, kalau dosa maka masuk neraka.

 

 

Selanjutnya, aku juga berpuasa untuk hal klenik. Begini... Ibuku setelah meninggalkan agama lamanya entah gimana menjadi sangat Jawa dan klenik banget. Misalkan kita mau beli mobil, maka dia itung2 dulu hari yang baik. Trus selama seminggu sebelum hari H maka 2 orang di keluarga harus puasa putih. Ibuku kan sakit maag parah, maka kemampuanku puasa sedari dini ’dimanfaatkan’ untuk substitusi ibuku. Jadilah aku di kelas 1 SD sudah mengenal puasa putih. Artinya ku cuma bisa minum air putih, makan nasi putih dan tahu atau tempe dibakar, tanpa bumbu apapun. Filosofinya adalah tirakat, berkorban untuk mendapatkan sesuatu.

 

 

Selain puasa klenik, aku juga dikenalkan dengan puasa weton atau hari lahir. Aku kan lahirnya Selasa Kliwon, nah tiap bulan aku harus puasa 3 hari: Senen Wage, Selasa Kliwon dan Rebo Legi, yaitu sehari sebelum aku lahir, pas aku lahir dan sesudah aku lahir. Filosofinya untuk mengenang kelahiranku, untuk menghormati batirku. Batir adalah ’kembaran’ku di alam yang lain. jadi selama 3 hari itu aku puasa, sedangkan batirku dikasih makan: bubur merah-putih diletakkan di atas tempat mengubur ari-ari-ku.

 

 

Aku disiplin puasa weton sampai aku awal2 kuliah. Ibuku rajin ngingetin, ”Minggu depan slasa kliwon lho Mbak...”. Nah, lama2 aku suka lupa... Trus pernah aku kehilangan dompet di bulan ini, bulan berikutnya ilang lagi. Pas aku crita ke ibuku dia bertanya, ”Slasa kliwon kemaren puasa nggak?”. Hiyaaaahhhh... Disambungin ke situuuu... Akhirnya aku punya pola pikir bahwa puasa itu untuk ’nyogok’ alam agar melindungiku. Trus daripada aku puasa 3 hari tiap bulan, ku buat kompromi jadi puasa senin kamis rutin. Begitulah...sampai sekarang aku rutin puasa senin kamis... ^o^

 

 

Bagaimana dengan puasa Ramadhan? Jujur aku belum dapat filosofi yang bisa kuterima dengan baik. Kalau dibilang untuk bisa merasakan penderitaan orang yang kurang makan alias kaum dhuafa, kupikir bukan lewat puasa kita melakukan itu. Hal paling tepat sebagai wujud empati itu adalah: tidak menyisakan makanan, ga buang2 makanan! Karena ketika kita menyisakan makanan yang kita makan, ketika kita buang sisa makanan (sembarangan pula), itu sangat menyakitkan perasaan mereka2 yang nyari makan aja susah. Serius! Aku selalu menegur dengan nada tinggi temen2ku yang makannya ga habis. ”Tau nggak di luar sana ada orang yang buat makan aja susah?”. kalau mereka mengelak dengan ”Udah ga muat lagiii...”, kutimpali, ”Makanya kalau ngambil makanan jangan rakus! Ambilnya dikira2! Belajar tanggung jawab dunk atas perbuatan kamu ngambil makanan itu!”.

 

 

Jadi berempati sebagai filosofi puasa adalah tidak tepat. Apalagi justru ketika puasa manusia jadi berlebihan. Budget jadi berlebih untuk beli kolaklah, es buah lah, tajilan lah.. Pokoknya yang di hari biasa ga ada, pas puasa diada2in. Blum acara buka puasa bersama yang eksesif, baik frekuensinya maupun kuantitas makanannya. Sebelah mana empatinya kan?

 

 

Kalau dibilang bahwa ketika puasa segala amalan dapat pahala berlipat ganda. Duh, aku bukan tipe orang yang suka itung2an gitu. Aku tidak bisa terprovokasi oleh obral pahala itu sehingga membuatku baca Qur’an di bis atau berdiri di pintu masjid dengan segepok uang seribuan siap dibagikan ke kaum dhuafa yang menghampiri sambil membungkuk2. No offense buat yang melakukan itu... Tapi aku tidak bisa menghargai orang yang duduk di kereta sambil baca Qur’an sedangkan di depannya ibu hamil berdiri. Atau udah desek2an tapi masih ga mau ketinggalan berlomba2 baca Qur’an sehingga ketika orang di sebelah geser dikit dan menyenggol tangannya dia mendecak kesal.

 

 

Karena aku tidak dapat menemukan alasan kenapa aku berpuasa, maka pertanyaannya aku balik: kenapa aku tidak berpuasa? Naaahhh...kalau begini aku ada jawabannya.

 

 

Aku adalah orang yang percaya pada hal gaib. Sebab-akibat, aksi-reaksi, take and give. Contohnya adalah kenyataan bahwa aku selama sejarah pendidikanku tidak pernah yang namanya mencontek. Aku definisikan mencontek dengan: membuat tulisan contekan, bertanya pada teman saat ujian dan memberikan jawaban. Alasannya adalah aku percaya bahwa ketika aku melakukan kecurangan pencontekan itu, mungkin nilaiku saat itu akan menjadi lebih bagus, tapi di pelajaran lain aku akan dikhilafkan sehingga aku salah menjawab soal dan nilaiku jelek. Bahwa ketika aku mengambil keuntungan saat ini, maka esok hari akan ada yang diambil dariku.

 

 

Begitu juga dengan puasa. Aku percaya Tuhan itu ada. Aku percaya Tuhan dekat. Aku berpikiran bahwa dengan berpuasa maka aku menjaga hubungan baik dengan Tuhan. Kan yang bilang puasa itu wajib Tuhan, to? Jadi, aku puasa karena aku tahu kalau diperintahkan dan aku taat, agar tidak ada friksi antara aku dan Tuhan. Tuhan kan sensitif...diduakan aja ga mau... Kalau hubunganku dengan Tuhan baik, maka Tuhan tidak akan macem2 sama aku. Ya kan?

 

 

Pemikiran itu sedikit banyak karena aku termakan oleh kata2 guru agamaku klas 2 SMA, dia bilang ”Kenapa orang2 non Islam justru kebanyakan hidupnya makmur? Karena secara tidak sadar mereka mengamalkan perintah Allah, misalnya menuntut ilmu, bekerja keras, bersedekah, tidak menyakiti orang. Jadi Allah menganugerahkan kekayaan pada mereka’. Aku mengartikannya dengan: ketika kita nggak bikin Tuhan BT, maka Tuhan memihak kita. Fufufu...

 

 

Jadi alasanku berpuasa adalah: karena aku tau puasa itu diwajibkan dan aku tidak ingin membuat Tuhan murka padaku.

 

 

Kalau ditanya kira2 kenapa Tuhan meminta kita puasa, aku akan menjawab, ”Aaahhh...Tuhan kan suka iseng..pengen ngetes doank mana di antara kita yang nurut mana yang enggak... Sama kayak kasusnya babi haram..” Dan seorang temanku menyahut, “Mana yang kayak kebo dipatok burung mana yang bukan....” Dan teman yang lain menimpali ”Gue si ogah kalo Tuhan gue kayak gitu.. yang kayak gitu bukan Tuhan gue....”

 

 

Yaaa...kan hubungan dengan Tuhan itu personal. Ya to?

 

25 comments:

  1. sammaaaa.. juga sama dgn soal kepercayaan bahwa tuhan itu ada dan dekat. tapi berhubung personality kita beda, hubungan dengan tuhan ya beda juga ya. sehingga gw mungkin termasuk yg bilang "tuhan gak gitu" hehehe..

    but still, i perfectly understand your philosophy. so keep your personal relationship with god.

    thx udah cerita tentang sejarahnya. cerita menarik ta. gak nyangka di kalangan orang jawa apalagi di daerahmu yg majemuk agamanya, masih ada begitu2.

    ReplyDelete
  2. Kata Pak ustadz, tipe hubungan manusia dan Tuhannya ada 3:
    1. Tipe pesuruh: melakukan sesuatu karena disuruh *lho? kok mirip aku? Duh...*
    2. Tipe pedagang: mau melakukan sesuatu ketika ada untung yang dia dapat
    3. Tipe kekasih: maunya dekeeeettt terus sama Tuhan, ga mau jauh2..

    Kalo aku? Tuhanku, sahabatkuuu... ^o^

    Begitu2 di lingkunganku itu pas aku kecil lho ya... ga tau kl sekarang...semoga si udah nggak...

    ReplyDelete
  3. aku juga tuhan sahabatku, jadi apa2nya bisa aku obrolin, gak perlu takut doi bete/gak. hihihi inget tulisanku ttg level teman, best friend? :D

    soal lingkunganmu, setauku sih hari gini negri kita malah makin parah soal gitu2an. jd kupikir jaman kamu kecil aja udah gitu, apalagi sekarang ya.. soalnya temenku yg ortunya beda agama juga disarankan supaya cari jodoh seagama cuma supaya tidak mengalami hal2 yg dialami ibunya dulu..

    ReplyDelete
  4. eits.... awas dibaca Utara19 lho... bisa2 dikecam, dirajam, dan dihantam habis2an... hehehhehe
    Btw, good point of view..

    ReplyDelete
  5. Btw, waktu gw kecil gw juga punya pengalaman gak enak tentang beda agama... gw hidup di mayoritas muslim, sedangkan gw kristen. Tiap kali mereka "kumat" mereka selalu mengataiku kalo nanti orang kristen mati, matinya pasti di pentang kayak Tuhan Yesus disalib... trus gw kan gak bisa bales, akhirnya gw cerita ke kakak gw... entah gimana dan darimana dia dapat ide... kakak gw bilang next time kalo gw diolok2 lagi bilang aja kalo mereka kalo mati jadi pepes (dipocong) trus dimakan sama setan di neraka...
    Buruk banget yah lingkungan sosial kita? Gw nggak tau apa masih seperti itu anak-2 kecil jaman sekarang... Semoga aja tidak...

    ReplyDelete
  6. Kalau ibuku cuma begini... "Ibu tau cinta itu misteri, tapi jikalau bisa ketemu cinta yang seagama... *menghela nafas dan ga dilanjutkan..*". Ibuku entah bingung entah ga sanggup ngomongnya... ^o^

    ReplyDelete
  7. Lantas, apa cerita kamu? Bagi2 dunk..

    ReplyDelete
  8. Eitss.. Ini kan bulan puasa yang (konon) semua setan dikerangkeng...jadi kita amaaaaannn.... Hohoho... Oooppss...

    ReplyDelete
  9. Aaammiiinnn...

    Kalau sepupu2ku diolok2nya palingan pas mereka mau ke gereja, trus ada yg suka nyeletuk, "Bawa duit yg banyak biar Tuhannya mampu beli baju...", trus sekelompok anak2 itu tertawa2... Dan aku malu...

    ReplyDelete
  10. ceritaku soal pengalaman, pendapat dan apa yang ku yakini soal masalah spiritual dan religi ada di hampir semua tulisan di blog ku Ta. Aku percaya segalanya hanya soal masalah "cinta", coz yang paling mudah aku pahami cuma dgn ini, dibanding segala hukum syara yg ada :)

    ReplyDelete
  11. Hahahahhaahha..... pantesan gak nongol ya? lha wong dia lagi di kerangkeng di neraka...

    ReplyDelete
  12. hahahahah... kalo itu konteksnya kan lucu2an, tapi kalo masa kecilkua dulu menghinanya dengan penuh kebencian dan esmosi.

    ReplyDelete
  13. Hwuaaaa..... bukan aku yg ngomooooooonnggg...

    ReplyDelete
  14. eh... dia lagi onlen lho... samperin yuk...

    ReplyDelete
  15. wahh Tata.. menarik ceritanya :-)
    Thank you for sharing...

    ReplyDelete
  16. Tar dulu...tar dulu... Ini Mbak Lisa alumni Munir's jugakah? Hwuaaaaa....

    ReplyDelete
  17. Dari kisah para nabi, untuk mewujudkan apa harapan dan do'a mereka, yang dilakukan adalah puasa, bukan sholat atau yang lainnya, yang tentunya sudah dijalankan dari hati.

    ReplyDelete
  18. ini bukannya tipe pedagang ya, ta??

    Sebenernya gak ngaruh buat Tuhan kamu puasa ato nggak ta.. Kamu puasa Tuhan gak tambah kaya, kamu gak puasa juga Tuhan nggak tambah miskin.

    Tuhan nyuruh kamu puasa karena Dia mau kayak gitu,, biar dia ngerasa sebagai Tuhan yg berhak nyuruh-nyuruh

    Kan kita cuma hamba, namanya hamba ya manut apapun yg disuruh majikan

    ReplyDelete
  19. hehe iya Ta, sori ya baru balas sekarang hehe :D

    ReplyDelete
  20. Setuju banget Ta.

    Orang Indonesia itu masih mencerna agama secara literal. Ibadah itu sebatas sholat, puasa, baca Quran dll. Apa kabar toleransi, menghargai SESAMA umat beragama (umat yang menganut agama apapun itu, bukan yg agamanya sama doang), menjaga kebersihan, menjaga amanah? Hal2 seperti ini belum diaplikasikan, karena hablum minannas-nya sangat rendah. Orang kita belum melihat bahwa hablum minallah dan hablum minannas itu adalah suatu bagian terintegrasi yang tidak bisa didikotomikan.

    Tapi pengertian mengenai keseimbangan hal diatas memerlukan intelektualitas, shg kita tidak menelan ayat mentah2. Kupikir Ibu2 atau ortu anak2 yang mendiskreditkan km di masjid adalah orang2 yang gak open-minded, mengkonotasikan perbedaan sebagai sesuatu yg negatif atau penyimpangan. Dan (maaf) mungkin ini dikarenakan faktor pendidikan (although this might be not the only factor).

    ReplyDelete
  21. Hwuaaaa..... Kerreeeennnn.... Aku selalu kepikiran tentang itu tapi ga nemu istilah itu *kosakata bahasa Arabku terbatas...hehehe...*

    Dan iya memang pendidikan masyarakat sekelilingku emang belum terperhatikan... Bahkan sampai sekarang... Pemuka agamanya aja dari jaman Bapakku kecil ga renegerasi gituh... Pengajian dengan bahasa pengantar non-Arab juga jarang kayaknya... Begitulah...

    ReplyDelete