Wednesday, December 12, 2007

Diam-mu Penanda-mu

Kita telah berlari sebelum peluit ditiup. Kita telah beradu peran sebelum gong dipukul tiga kali. Ya, kita adalah wayang yang berlakon sebelum gunungan tertancap.

 

Tak mengapakah? Kurasa tak apa-apa. Toh, kita masih ada dalam pakem. Walau kadang bimbang menyerangku. Apa sajakah di dirimu yang boleh kusentuh? Wilayah mana sajakah yang boleh kujelajahi?

 

Kulangkahi dan kurabai tiap jengkal dirimu. Kukecupi dan kuciumi tiap rasamu. Kutatap matamu ditiap langkah dan rabaan. Kutahan nafasku di tiap kecupan dan ciuman. Kunantikan kenanmu yang kau isyaratkan lewat warna (di) matamu.

 

Kini, manakah warna itu? Hampir lelah mataku menunggu. Hampir habis nafasku tertahan.

 

Tak ada warna, tak ada kata. Hanya diam mu yang kutangkap. Diam yang menggoreskan garis batas yang jelas. Diam mu adalah penanda atas mana yang boleh kusentuh, mana yang bisa kuraba dan sejauh apa ku harus melangkah di dirimu.

 

Akhirnya...kutahu dimana ku harus berada

7 comments:

  1. aah...lebih sulit bagiku tuk menahan diam ketika seseorang memainkan lakon pada tubuhku. ketika itu tak ada dogma yang mampu ku ingat dan membelenggu. Sungguh, kehampaan kata2ku tak lebih dari perselingkuhanku dengan tautan bibir dan keremangan sadarku.

    Lho ini kan bukan dengan diriku yah? maaf, maaf. hehehehehe. btw, bagus lho postingannya Ta.

    ReplyDelete
  2. ....kadang diam memang lebih berbicara dibanding apa yang mampu diutarakan kata :)

    ReplyDelete
  3. Bukan di tubuhmu ku bermain lakon. Hatimulah panggungku.

    Hehehe...
    Tengkyu yaaa.... Yah, sebenernya ini adalah responku untuk org yg not responding. Sesuatu yg tak hanya berdasarkan imajinasi emang lebih berasa ya? Hehehe...

    ReplyDelete
  4. Ternyata bukan hanya aku yg merasa seperti itu, ya? Hwuaaaa... Senangnya ada teman! Hehehe...
    Makasi ya Aini...

    ReplyDelete
  5. harusnya sudah ku menyadarinya, bahwa tubuh tak seluas hati sebagai panggung tuk bermain lakon apa pun :)

    kadang diam juga tak lebih baik dari berbicara, tapi setidaknya dengan kata2 yang terurai tak memunculkan prasangka :)

    Yup sesuatu lebih berasa jika berasal dari kisah nyata.

    ReplyDelete
  6. Setuju he4x

    Segala sesuatu dari yang nyata akan lebih terasa
    dan tak akan menimbulkan suatu prasangka
    karena berpijak pada logika dalam nyata

    Kata seorang filsuf,
    "Cogito ergo sum"
    aku berpikir karena itu aku ada
    Rasa menjadi ada karena aku 'ada'
    Ada karena aku berjalan bukan dalam imaji semata

    ReplyDelete
  7. Paduan kisah nyata dan imajinasi (liar). Hmmm....perfect! Hehehe...

    ReplyDelete